CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Kamis, 29 Oktober 2009

the unimportant thing

Berkali sadar bahwa sakit itu merayapi jiwaku, virus yang menggerogot yang tak menyisakan sel waras. Seperti opium yang mencandukanku, hingga tanpanya aku tak ada, tanpanya aku sirna dan tak merasa. Sadarku tak mengantarkanku pada pertobatan, malah melenakanku dalam pelarian yang kubenarkan. Nafsuku telah mengintervensi keseluruhan perasaanku, sekat-sekat yang dulu kubuat perlahan memudar. Berkali aku sadar bahwa aku memanipulasi diri bahwa aku baik-baik saja, menopengiku dengan bedak tebal tak memberikan sedikitpun kulitku untuk sekedar bernafas.
Dalam putus asaku ada waktu ketika aku ingin berhenti. Diam sejenak atau mengganti dimensi. Dimensi kekal saat perasaanku tak lagi harus dimanipulasi, atau sebuah dunia saat aku bisa menjadi diriku apa adanya.
Dalam sesalku kusempatkan sedikit mimpi, saat virus itu hilang begitu saja, dicabut oleh sang penguasa nyawa dan raga. Merdeka tanpa penjajajahan. Aku sehat.
Semua itu basi, luka lama yang dipelihara tanpa pernah disembuhkan, entah mengapa aku tak cukup kuat untuk itu. Cengeng, lemah dan apalah itu, tapi itu aku itu benar-benar diriku, labil bimbang tak jelas tak terarah, itu yang menyakitkanku tapi tak pernah mampu memperbaiki diri

Senin, 17 Agustus 2009

KENAPA

pertanyaannya selalu "kenapa". Ini hari ketika aku tidak lagi sanggup, saat pagi selalu memberatiku dengan kekesalan dan kebencian diselingi dengan kesensitifan. Ah pagiku telah mengirimi serangkaian keengganan untuk seluruh hari. Betapa ada pada satu waktu untuk aku berhenti, berfikir, merasa dan bergerak = mati. Bukan karena masalah yang memberatiku, hanya sekedar lelahku menjalani dengan rasaku yang berlebihan.
Mestinya aku merenung untuk tahu diri. Aku hanya sudra, aku hanya seonggok yang diangkat ke dalam mankuk, untuk kemudian dilihat dengan indah olehku sendiri, aku hanya mentapa langit tempat ksatria dan brahmana ada, inginku tak menjejak bumi tapi aku masih menjejak.

Rabu, 01 Juli 2009

MIRACLE

Semalam, mataku tak memberat juga meski tubuhku melunglai. Pikiran meliar tanpa aturan, sampai akhirnya aku terbentur pada masalah-masalah yang kualami. Mengingatkanku akan perbincangan dengan my beloved sister saat harus menunggu kakak iparku di RSPAD. Dalam pembicaraan itu aku selalu mengatakan please be realistic, bukan cuma dan hanya bermimpi atau berharap tapi semua dengna perhitungan dan realistislah. Semalam saat ingatan itu meluncur bagai roler coaster, serasa menampar diriku sendiri bahwa selama ini aku selalu menyemangati diri sendiri dan temanku apabila ada masalah dengan sebuah kepercayaan , believe with miracle. Do I? Miracle atau kepercayaan akan keajaiban hanya datang ketika aku kuldesak. Lantas haruskan aku percaya dengan keajaiban atau harus selalau realistis?

Rabu, 24 Juni 2009

THANK YOU


Kemarin, kata terimakasih mengaliri benakku, betapa selama ini aku menuntut dan berharap orang lain mengatakan terimakasih untuk apapun yang telah kulakukan untuknya, untuk semua yang berbau fisik ataupun mental. Thankyou hanyalah sebuah kata sederhana yang seringnya diabaikan, dan jujur akupun sering mengabaikannya, apalagi dengan orang-orang yang palng dekat denganku, orangtua, keluarga dan saudara. Rasanya terimakasih tak harus diucapkan dengan kata-kata, cukup sebuah tindakan. Namun terimakasih juga tak melulu soal benda, kata sederhana itu kadang jauh berarti dari tindakan ataupun benda. Dengan berusaha dewasa aku mengertikan bahwa karakter sudah terbentuk, dan seringnya harus selalu maklum.

Aku penuntut, aku berharap setiap percakapan diakhiri dengan terimakasih, aku berharap setiap SMS dibalas, aku mau e-mailku di balas dengan terimakasih, aku mau setiap mempersilahkan orang mengambil bangku yang kududuki di bis mengatakan terimakasih, aku mau orang yang kufotocopykan mengucapkan terimakasih, aku mau orang yang kubuatkan surat mengucapkan terimakasih, aku mau orang yang kuberi kesempatan jalan lebih dulu mengucapkan terimakasih. Aku mau orang yang suratnya kufax kan mengucapka terimakasih, aku mau orang yang aku service mengucapkan terimakasih.

Tapi apakah aku mengucapkannya? Untuk setiap belanja di warung, untuk setiap udara yang Tuhan berikan, untuk setiap perhatian orang lain dan lingkunganku, untuk setiap tebengan, untuk setiap traktiran, untuk setiap sapaan.


Ah TERIMAKASIH untuk siapapun dirimu yang lupa aku terimakasihi dan sekarang aku berjanji untuk mengucapkan dimomen apapun. THANK YOU

DI BALIK PINTU

Setiap kali pintu itu di tutup, ia masuk ke dalam dunia baru. Dunia berbentuk kotak dengan ukuran yang kecil. Dunia itu tak bercahaya, gelap gulita. Ia harus meraba untuk tahu posisi, namun seluruh dinding dunia di balik pintu itu rata, tak sedikitpun bergelombang, lekuk, ataupun sudut, sehingga pintunyatidak pernah ditemukan.

Begitu pintu ditutup nyalanya padam, ia bukan lagi Agni yang menyala berkibar. Ia tak tertambahi oksigen ataupun gas, yang ada ia dibanjur dengan air. Nyalanya tak menyisakan bara ataupun jelaga, meninggalkan pekat yang membutakan mata.

Dulu ia selalu menghambur membuka pintu, ia yang bersinar dinamai Agni, bersaing dengan matahari, membisiki bebunga dengan kata-kata cinta, menghangati kulit manusia yang telanjang, menguapkan embun, membuat angin menggeliat, membantu fotosintesa dan menyilaukan mata. Dulu ia mengajari kami menyanyi, lagu Cublak-Cublak Suweng, Suwe Ora Jamu, Dandang Gula, Pucung dan lagu dolanan lainnya. Dulu ia juga mengajari kami menari, Gambyong, Golek, Merak, sebagai implementasi hasil yang ia peroleh sewaktu kuliah di STSI, sekedar buat mentas Agustusan. Dulu ia juga mengajar di SMA di kota sebagai guru kesenian. Waktu itu usianya baru dua puluh empat tahun, ia nyala yang teduh dan hangat, bukan panas yang membakar.

Masih kuingat waktu ia mengamini kerlingan mata Tirta, membuka pintu hatinya yang selama ini terkunci, membiarkan air mengaliri gunung yang terpanggang, melembabkan, hingga rumput-runput tumbuh, bebunga warna merah putih biru membiaskan cahaya, menciptakan spektrum dan menimbulkan pelangi, membiarkan cinta menstabilkan suhu. Tirta lantas melamar Agni untuk menjadi pelengkap hidupnya, membawanya ke rumah baru, berpintu baru yang bila dimasuki membuatnya padam, terkunci dari luar dan gelap gulita.

Aku masih punya fotonya sebelum ia memasuki pintu itu. Foto perempuan muda berkulit mulus, berbibir tipis yang merah, hidungnya mancung. Lesung pipinya terlihat sebab ia sedang tertawa. Agni yang cantik dengan rambut lurus, kupasang foto itu di depan pintunya, pintu kayu besar dari jati dengan ukiran Jepara.

Ia menjerit keras, tapi tanpa suara, hanya hatinya yang meronta. Pintu itu dibuka, sedikit cahaya masuk, ia mampu melihat sebagian langit, hanya sepersekian detik. Sebelum pintu di tutup lagi dan di kunc. Sekarang lampu temaram bersinar redup. Hingga sudut-sudut tak terlihat. Agni menggigil, ia disiram dengan air es.
“Aku mau makan!”
Suara Tirta menggelegar seperti air bah menghambur menenggelamkan. Beringsut Agni meraba, mencari kompor, membuka kulkas, mencari sesuatu yang bisa di masak. Ia pun lapar, seharian meringkuk terperangkap dalam gulita tak bertepi. Hanya ada telor, ia ceplok dan dihidangkan dengan nasi kemarin.
Tirta memandang tajam, seperti bongkahan es batu yang runcing, merobek-robek dan mengoyak.
“Apa ini, kamu bisa masak tidak sih? Masa tiap hari telur lagi telur lagi, kamu mau aku bisulan?”
Tirta memuncratkan bahnya lagi, ia melempar sepiring nasi dan telor itu, berserakan di lantai. Agni mengumpulkan, memakannya sembari berusaha memisahkan dengan pecahan piring, sebab ia memang sangat lapar. Tapi ia tak lagi sempat menikmati makanannya, tiba-tiba Tirta menjambak rambutnya yang panjang, menyeretnya ke kasur, menelanjanginya, menyodominya. Agni hanya meringis, ia dibekap dan disekap.

Pagi itu pintu dibuka, Tirta mengajak Agni menyambangi alam fana. Tidak lupa didandaninya dengan cantik, rambutnya di sanggul, memakai ronce bunga melati. Selepas subuh tadi Tirta berlutut, menciumi kaki Agni, memohon ampun, mencurahinya dengan cinta. Bersumpah tidak akan mengulanginya. Agni tak pernah tahu itu nyata atau maya. Ia hanya membisu membiarkan dirinya padam dan menghilang. Ia meminta Agni memakai kebaya putih, sedangkan ia sendiri sibuk mencuci, mengepel dan memasak, memperlakukan Agni bak ratu dengan tidak lupa menyalakan lampu, hingga ruangan ini jelas dan hangat, sudut-sudutnya lekukannya.

Berdua mereka berjalan beriringan menyusuri setapak kecil berbatu di taman kota. Tirta membelikan kelapa muda lantas mengumpulkan anak-anak kecil duduk di depan Agni, memintanya mengajari menyanyi. Suara merdunya mengalun, mendamaikan hati, menghangatkan jiwa, perlahan-lahan iapun bergerak, menari, menimanng bayi, Serimpi. Begitu banyak pasang mata terpana, sungguh suara dan geraknya mahadaya, menyulap, orang-orang terhanyut dalam iramanya. Agni balas menatap mata-mata itu bercerita tentang dukanya yang tidak dimengerti.

Namun begitu pulang pintu di tutup, dikunci apat-rapat dan kuncinya disembunyikan entah di mana, Agni diikat dengan tali raffa, sekali lagi Tirta mengamuk.
“Aku ini suamimu, jangan lirik laki-laki lain, ngerti tidak?”
Agni meringis, menangis. Sekali lagi nyalanya yang masih temaram padam. Tiba-tiba saja Tirta melepas ikatan pada tubuh Agni yang menggigil, menciuminya, memohon ampun, menyetubuhinya, seolah kejadian tadi wajar saja.

Pagi ini seperti biasa, Agni duduk di bagian paling tengah dunia kotak di balik pintu. Tirta berbenah lantas mengecup keningnya, membuka pintu, masih sempat ia mencium wangi embun dan rumput juga hangat sang surya, sebelum akhirnya pintu di tutup, dikunci dari luar dan lampu dimatikan dari luar.

Agni meringkuk sendirian, percuma berdiri dan meraba, semua menjadi rata datar tak bertepi, ia sudah berkali-kali mencoba memejam mata, mengangkasakan angan. Bebas di alam liar dengan sebuah pintu yang bisa membuatnya ke mana saja, ke langit, ke hutan hujan tropis, ke pantai bahkan ke tempat anak-anak bermain, ia ingin berlari, merasakan angin menerpa, mengobarkan nyala, kian lama kian besar menghangati orang-orang, menyentuh bebunga membantu fotosintesa. Ia ingin mendengar musik dari dedaunan yuang bertiup angin, deburan ombak yang riuh. Ia menari Serimpi, menggendong bayi, membawa bejana tanah, ia melenggang menggoyangkan badan. Menimbang bayi yang telah lahir darinya, laki-laki begitu tampan dan lucu, dipandangnya mata bayi yang sejuk, dimandikannya di sungai dengan air hangat biasan matahari. Anaknya yang kelaminnya tertutup. Ia mengisi tembikar dengan air sungai. Hujan turun mendadak tanpa pertanda ia bergegas, bayinya didekap, bejana ia pegang di kanan, jalanan licin, Agni tergelincir bayinya jatuh tertimpa bejana, ia menjerit keras.

Ia masih dalam kegelapan, terngah-engah menyisir meraba-raba mencari bayinya. Ia mau menjajaga si jabang bayi yang masih dalam perut yang memberinya nyala dari di hati, sebuah tekat untuk mengeluarkannya dari bali pintu. Ia menggosok-gosokkan tubuhnya ke dinding dengan punggungnya, pantatnya, kepalanya, tangannya, kakinya, bahkan payudaranya, darah dimana-mana namun percik itu ada –api- mula-mula setitik lantas membesar.

Hanya saja kemudian suara langkah kaki terdengar, itu langkah tirta agni harus bergegas, biar nyalanya tak padam kian membesar. Sakitnya menghilang, ia mempercepat gesekannya, api membesar Tirta masuk menghambur menumpahkan air bah ke Agni, hanya darah yang terbasuh api tetap menyala membakar semuanya, dinding beton, kayu atap, perbotan, semuanya tak terkecuali. Cahaya matahari terlihat ia berlari menyongsongnya, dunia di balik pintu itu musnah, pintunya juga beserta isinya, tirtapun menguap.

Agni membuka pintu pagi ini, ia ingin menguapkan embun, menghangati bebunga.ia ngin menari serimpi dengan bayinya di dunia terang benderang, tanpa ujung, tanpa sudut, tanpa lelaki, tak ada lagi ruangan berpintu. Aku menyambutnya kupeluk ia erat, kami melangkahi hamparan savanna wangi ilalang dan rerumputan.

Sabtu, 06 Juni 2009

SIM

3 Bulan sudh aku terjebak dalam bimbang, ngurus SIM apa engga??? Beberapa hal yang membuatku ragu diantaranya adalah : budget, manfaat, dan konsistensi alias kelanjutannya. karena saat ini posiblilitynya masihlah muram, alias belum ada kepastian kapan aku akan menggunakan (mengemudikan) dan memiliki mobil. Tadinya kupikir bahwa mengemudi adalah sklil dan belajar mengemudi adalah suatu kemampuan yang wajib dimiliki. Beberapa hal yang kuragukan diantaranya adalah :

1. Manfaat SIM yang akan saya miliki bila skill alias kemampuan mengemudiku juga tidak ada perkembangan alias stagnasi dalam kelanjutannya. karena aku tidak pernah mempraktekannya. pada akhirnya ilmu yang tidak pernah di praktekkan akan mati, jujur malah sekarang aku sudah lupa lagi bagaimana cara mengemudi.
2. Budget, saat ini paling tidak aku membutuhkan budget yang agak lumayan apalagi ditambah aku baru pulang kampung. sejujurnya budget gw lagi engga cukup alias cekak abis..... Sedih
3. Tempat. Apabila aku harus mengurus SIM maka dengan terpaksa aku harus bolak-balik jakarta bandung yang amat sangat menyita waktu dan budget tambahan, karena ID-ku masih ada di Bandung. Menyedihkan memang.

Hahhhhh, males-males males....
Aku pingin punya SIM

Senin, 01 Juni 2009

YANG DATANG KEMARIN

Kemarin badai datang
setelah mengetuk pintu rumahku
dengan salam yang santun
hendak meruntuhkan semuanya
namun aku tetap saja diam tak bergerak
apa gunanya lari?
tak mampu menyelesaikan semua
aku hanya perlu pasrah,
Badai kan malaikat,
Yang senyum sinis

PULANG


Pulang, hanya sebuah kata sederhana saja, namun rangkaiannya menjadi sangat panjang. Dalam perjalannaku pulang ke tempat Ibuku melantunkan doa-doa terindahnya untukku, dengan sabarnya menungguku dan dengan samudera kasihnya menyayangiku, lamunanku melambung tak terbanntahkan. Tanpa batas memikirkan tentang pulang. Aku pulang untuk mendulang semua doa-doanya. Dan sekarang aku telah datang ke dalam realita lain.

Meremuklah aku, segalaku.
Dayaku melebur pupus, tak kuasa mengahalu galau.
Gundahku yang membuncah berhenti dan termulai
Inilah ujung yang pangkal.

Tak ada pekik lagi yang mengisi langit-langit
Bukan runtuh tapi musnah, membekaskan bayang dalam angan
Akankah hardik datang lagi menyambangi?
Hardik dengan mata berkaca-kaca
Hardik dengan bibir yang bergetar
Hardik yang tak pernah lantang
Hardik yang tak mampu kutafsirkan sebagai petuah.

Bermenit akau abai.
Adamu tak ada untukku.
Selewat angin yang berhembus kering
Apakah duri apakah batu
Aku lalai padamu
Tak pernah terlintas adamu mendamaikanku

Saat hilang terbang malah berdatangan
Yang terabaikan dan lalai
Membubungkan semua sedih
Melautlah sesal
Membekaskan sesak di dada

Senin, 25 Mei 2009

IBU




Dulu kupikir bahwa aku lahir dari perut sapi, seperti kulihat waktu sapi punya pak Lurah beranak, tapi tak mungkin sapi tidak beranak manusia. Tadinya kupikir aku ada begitu saja, dari tanah ditiupkan roh, tapi tak mungkin aku bukan manusia pertama dan aku bukan nabi. Ibuku entah ada di mana, mungkin dia tak lagi ada, entahlah. Seumur hidupku aku belum pernah melihat perempuan yang melahirkanku, kata bapak aku tak pernah merasai susu ibuku, tak pernah ngenyot puting susunya. Ia tak pernah membiarkanku merasai belai lembutnya, kecupan dan kasihnya juga cerita-ceritanya.

Bapak bilang padaku; “ Ibumu perempuan cantik, ia kembang desa sepertimu, rambutnya panjang diurai. Matanya bulat dan jernih, kulitnya langsat, ia sempurna, perempuan luar biasa yang pernah kutemui. Bapak sangat menciantainya, bahkan tanpa restu orangtua kami menikah. Sayang sekali bapak tidak punya fotonya satupun. Bapak tak pernah punya uang cukup untuk berfoto.”

Ketika kutanyakan kenapa ia pergi, bapak menjawab. “ Entahlah, ketika ibu melahirkanmu terjadi pendarahan hebat, aku tidak mengerti yang jelas ia di bawa ke rumah sakit, aku yang mengantarkannya. Seminggu ia ada di rumah sakit, pada hari ke delapan ia hilang tak berbekas, mungkin di gondol wewe. Ketika aku menjemputnya. Aku sudah mencari kemana-mana, namun ya itu ibumu tak pernah lagi ada.”

Sekali waktu aku bertanya. “ Apakah aku memiliki kakek, nenek, paman atau bibi?” Bapak menjawab. “Mereka tak menginginkan keberadaanmu.” Pernyataannya menegaskan bahwa aku memiliki mereka, tapi bapak menambahi jawabannya. “ Ada tapi mereka lebih baik tidak ada.” Ia membelaiku.

Seumurku bapak hanya hidup berdua denganku, seorang diri ia merawatku di lingkungan yang asing. Katanya. “ dulu kamu selalu bapak bawa kalau kerja di kebun orang, di sana, orang-orang berebut menggendongmu, mengasuhmu, mungkin kasihan sama bapak. Kamu tak pernah kuminumi susu, bapak tak mampu membeli, hanya madu, teh manis dan air putih.”

Lantas kutanya kenapa bapak tak mencari ibu baru buatku, ia menjawab.” Aku mencintai ibumu dengan sangat dan aku menyayangimu bapak tidak mau kamu diasuh ibu tiri yang jahat.” Bapak mengecup keningku.

Bapakku telah memnuhi segala kebutuhanku dari seorang ibu, kasih sayang, pelajaran-pelajaran dan wejangan-wejangan. Ia mengajariku memasak, menjahit, bahkan ia yang menenangkan panikku ketika pertama mens dan mengajari bagaimana menyikapi. Bapakku mengerti aku harus minum jamu apa ketika pertama haid. Tapi bagaimanapun juga, kadang aku ingin bertemu Ibuku.

Sehari-hari bapakku hanya jadi buruh tani, mencangkul, membajak, menanam, memupuk, dan panen. Dari pagi hingga petang tapi tetap saja kehidupan kami tidak berubah bahkan untuk sekolahpun tak bisa. Hanya cukup makan, rumah kami tak pernah di perbaiki, masih berdinding papan dan berlantai tanah, tanpa tivi ataupun radio.

Senja sepulang bapak kerja biasanya telah kusiapkan air panas dan kutimbakan air. Kami makan malam seadanya bersama. Kadang aku memijatnya menjelang tidur, tubuhnya masih kekar meski tidak seperti dulu, kulitnya legam keperakan terpanggang matahari. Dia sudah mulai keriput, rambutnyapun menguban dan botak, mungkin umurnya lima puluhan. Saat ini saja aku sudah dua puluh satu tahun.

Suatu kali bapak ke kamarku, membelai rambutku dan berkata. “ Sebentar lagi kamu akan keluar dari rumah ini, kamu mestinya harus segera kawin, apakah kamu sudah punya pacar?” Aku menggeleng. “ Di kampung ini gadis seusiamu sudah punya anak dua atau tiga. Bapak juga sudah jadi kakek. Kamu cantik seperti ibumu.” Bapak membelaiku.” Kamu cantik, apakah tak seorangpun mau dirimu?” Hanya bapak yang bilang aku cantik, seumur hidupku.

Aku memeluk bapakku erat sangat erat, aku tak ingin meninggalkan ataupun ditinggalkannya, aku tak ingin menikah, aku hanya mau dengan bapak, begitu banyak yang bapak berikan dan korbankan untukku, lantas aku membalasnya dengan meninggalkannya? Aku anak durhaka.

Kalau ibu masih ada, apakah dia ingat tentang aku dan bapak? Entahlah. Mungkin baginya kami tak pernah ada, lihatlah bu, bapak setia padamu, kuyakin bapak kesepian butuh belaian dan kehangatan perempuan di tengah dingin yang menggigilkan.

Kucium pipi bapak, kuelus punggungnya, ku dekap ia makin erat, aku mungkin gila, tapi aku sungguh-sungguh kasihan sama bapak, kubuka bajunya kubuka bajuku biarlah kutebus dosa ibu dan dosaku yang memberati hidupnya. Aku hanya ingin memberinya sedikit kebahagiaan.

Aku sangat mencintainya, hubungan kami makin intim, tapi kami memang mengingini. Bapakkku segalanya, dia bapak dan tuhanku, aku memang gila, tapi perasaanku karena setiap hari seumur hidupku hanya kami berdua yang ada. Aku tak peduli pada apapun, suara-suara, bahkan dunia.

Kami punya dunia sendiri, hanya aku dan bapak, sangat indah tak ada pengganggu. Sampai ada yang datang di antara kami ;,janin, aku hamil sebentar lagi aku menjadi ibu. Oh bahagianya aku akan membahagiakan anakku juga, dia punya ibu dan bapak aku tidak akan meninggalkannya seperti ibu. Tapi waktu kubilang pada bapak, ia terkaget, tertegun lama sekali, wajahnya mendadak galau. “Kamu harus gugurkan bayi itu.” Ketika kutanyakan kenapa ia bilang. “Bayi itu tak semestinya ada, ia haram.” Aku tak terima. Bukankah tidak ada anak haram, semua benar, aku tak mau menggugurkan bayi itu. Bapak marah sangat marah ia memaksaku tapi aku tidak mau. Untuk kali pertama kudapati ia marah. Kutenangkan hatinya dengan tatapan dan tangisan, kupeluk dirinya. “Aku siap menanggungnya.”

Janinku makin besar, perutku juga tambah membuncit, setiap kali keluar rumah seperti ke warung ataupun menyapu halaman, orang-orang memandangiku, mereka bergunjing berbisik satu sama lain, bagaimana mungkin aku hamil tanpa suami, mereka mulai mendakwaku sebagai perempuan nakal. Mereka hanya belum tahu siapa bapak bayiku.

Saat kandunganku memasuki usia tujuh bulan, bukan selamatan yang kudapatkan padahal aku juga ingin seperti orang lain, kenduri, memasak belut dan lainnya. Yang terjadi penduduk kampung menyeratku ke balai desa, aku dimaki dibentak, dijambak ditampar, tanpa memberikan sedikitpun waktu untuk bicara. Mereka bilang aku aib kampung ini, dipaksa mengaku kalau tidak aku akan di usir dari kampung ini. Sungguh manusia-mausia yang katanya tahu moral dan etika itu makin beringas, aku seorang terdakwa yang sendirian duduk di kursi pesakitan. Tapi aku tertawa lepas, mengapa mereka harus berbuat seperti itu, harus ikut campur dengan hidupku. Tiba-tiba bapak menyeruak kerumunan, ia mencoba melerai orang-orang yang menganiayaku, tapi tak seorangpun yang peduli. Mereka mungkin berpikir bapakku tak becus mendidik anak, ia dipukuli dengan sadis. Tubuh rentanya pasti remuk, aku menangis, aku berteriak.

Mereka berhenti, tertegun seperti wajah bapak waktu kubilang aku hamil. Mereka mundur selangkah sebelum akhirnya aku di arak keliling kampung. Aku dipisahkan dengan bapakku, ia di bawa ke kantor polisi. Katanya perbuatan kami melawan hukum. Hukum? Mengapa? Kami saling mencintai, mereka tak pernah tahu perasaan kami , meskipun berkali-kali kubilang kami saling mencintai, tapi yang ada mereka menganggapku gila. Aku mohon dengan sangat agar bapakku dibebaskan dari penjara, sebentar lagi anak kami lahir , aku akan menjadi ibu, ibu anak bapakku yang kucintai.

FIRASAT


Ngilu, sakit seluruh syaraf-syaraf tubuh merasakan. Darah mengucur dari mulutnya, gigi geraham atasnya tanggal begitu saja tanpa tanda-tanda, tidak ditarik, dicabut atau ditampar, tapi tanggal dengan rasa sakit yang menggila begitu saja datang tanpa aba-aba.


Keringat mengucur dari tubuhnya, dari ujung kepala hingga ujung kuku kakinya badannya basah kuyup ia melepas kaos mengipas-ngipaskan ke tubuh, lantas bangkit dari tidurnya mengambil minuman di dapur menenangkan jantungnya yang berdegup kencang seolah mau meledak, baru kemudian kembali ke kamar, lekat-lekat dipandangi anak laki-laki dan istrinya yang terlelap tenang dan damai di bawah temaram lampu lima watt. istrinya saat ini sedang hamil hanya tinggal hitungan hari saja ia akan melahirkan bayi laki-laki atau perempuan terserahlah karena baik laki-laki maupun perempuan baginya sama saja, tanggung jawabnya hanya memakani, menyekolahkan dan menghidupi semampunya. Benaknya dipenuhi dengan tanda tanya tentang mimpinya barusan apakah artinya, siapa yang akan segera mati?

Singkong rebus dan kopi pahit sarapannya setiap pagi. ia duduk di lantai mempersiapkan peralatan dan perlengkapan patrinya, plat, solder, dan lain-lainnya. istrinya tengah sibuk mengemas nasi aking dengan lauk iakn asin ke dalam wadah plastik dan air putih ke dalam botol bekas kemasan air mineral buat bekalnya. ya setiap hari setiap jam tujuh ia harus melakukan kegiatan wajibnya semacam rutinitas yang semenjak sepuluh tahun menjadi profesinya yang ia geluti dengan tabah. menjadi tukang patri, dulu ia pernah mencoba cara lain dalam mencari nafkah, jadi kuli bangunan, buruh pabrik, namun mungkin sudah nasibnya ia harus menjadi tukang patri demi keluarga kecilnya.

Anak laki-lakinya yang sudah berumur tujuh tahunpun tidak kalah sibuk, ia sudah mandi pagi-pagi, memakai celana merah dan baju putih. seragam SD bekas pemberian Wa Narto, bekas cucunya dulu. Celananya sudah sobek di selangkangan dan kesempitan, celana itu sudah berkali-kali dijahit namun tetap saja selalu sobek. kemejanya sendiri sudah berangsur-angsur mencoklat, pada bagian kerahnya sudah mulai mengelupas. bajunya dipenuhi dengan bintik-bintik hitam pertanda sering kehujanan. Setelah itu ia memakai sepatu warior hitam bekas yang bagian jempolnya sudah bolong hingga jempol bocah mungil itu kemana-mana. sepatu itu ia temukan di tempat sampah dekat pasar sekitar lima bulan lalu ketika mematri pancinya Mbak Ningrum.

Di sebelah bapaknya, bocah itu juga melakukan ritual rutinnya setiap pagi. mempersiapkan perlengkapannya, sebuah tas hitam yang resletingnya rusak dan gambar Batmannya sudah hampir hilang karena lusuh. tiga buah buku yang isinya sudah hampir habis bersampul koran dan sebuah pensil pendek yang ia temukan di jalan, dimasukkannya ke dalam tas pemberian langganan bapaknya.

Jam Tujuh lebih anak laki-laki itu berdiri di depan pintu, serombongan anak berseragam merah putih lewat, bersendau gurau menggendong tas-tas bagus, memakai baju bagus, topi, sepatu, kaos kaki, ikat pinggang, aneka macam pin dan jam tangan dengan gambar bintang-bintang film kartun yang sedang naik daun. Ia akan berdiri selama sekitar sepuluh menit seperti biasanya hinga tak ada satupun anak berbaju merah putih yang lewat baru kemudain ia kembali dengan buku-bukunya mencorat coret menulis entah apa sesuatu yang tak ia tahu maknanya meniru apa yang sudah tertulis di halaman-halaman buku bekasnya.

Laki-laki itu hanya bisa diam, itulah ritual anaknya setiap hari. ia cukup tahu keinginan anaknya namun ia tidak bisa melakuklan apapun. sekolah hanya untuk yang kaya, apalagi untuk kota besar seperti ini. istrinya datang memberikan sebungkus nasi aking, ikan asin dan sambal, dengan sebotol air minum. ia harus bergegas menjemput rejekinya, untuk makan dan hidup, membayar kontrakan, listrik dan ai,r juga hutang ke warung Yu Juminten, juga untuk persiapan menyambut bayinya. Hatinya gelisah hari ini, inginnya di rumah saja, mimpinya semalam masih saja terbayang hanya saja ia harus kerja. Mencari uang.

Setiap hari melelahkan seminggu tujh hari tanpa hari libur berjalan keluar masuk kampung memukul-mukulkan lempengan besi sebagai tanda ia datang menawarkan jasa patri. Jam enam petang ia pulang langsung mandi dan shalat Maghrib di surau. malam ini ia makan sama dengan yang ia makan tadi, bekalnya. sebab memang cuma itu yang mampu ia beli. Jasa patrinya saat ini sedang sepi pembeli entah karena banyak saingan atau apalah, yang jelas meskipun sudah berkeliling keluar masuk kampung ke mana-mana penghasilannya masih saja kurang. atau mungkin biaya hidup yang tinggi dan harga barang-barang yang mahal yang membuat segalanya menjadi terasa amat berat. Berdua saja ia makan dengan istrinya bocah laki-lakinya entah ada di mana.

Ia bertanya pada istrinya tentang keberadaan anaknya namun si sitri yang tengah hamil tua itu menjawab tidak tahu. sejak pagi ia memang sudah tidak ada. tadinya ia pikir sedang main sama teman-temannya namun si Paino, Kirman, Wahyu dan Alim mengaku tidak bersama bocahnya sejak pagi tadi. Kepanikan melanda berdua mereka mencari ke mana-mana, ke Surau, Masjid, lapangan bola. Bertanya pada siapapun namun hasilnya nihil.

Selepas Isya orang-orang mencari, para wargapun turut serta, ke pasar, ke balai desa bahkan kekuburan sambil membawa kemenyan siapa tahu ia di bawa lampor. Bocah laki-lakinya tidak jua ketemu, semalaman ia tidak bisa tidur mondar-mandir keluar masuk rumah sementara istrinya menangis tak henti-hentinya. Adzan subuh berkumandang dari surau, Wak Haji yang adzan, udara pagi mengiris-ngiris kulit, gema adzan itu mengiris-ngiris hati, memerindingkan, begitu merdunya suara Wak Haji hingga semua orang merindukan Adzannnya. Ia bergeas ke masjid untuk shalat berjamaah. selesai shalat ia termangu di depan surau memandang pohon mangga Wa Narto yang berbuah lebat. Cahaya kemerahan di timur mulai terlihat. ia tertegun menatap lekat-lekat ke salah satu tangkai pohon mangga. Jantungnya serasa berhenti dan tulangnya bertanggalan bukan hanya giginya, mimpinya terjawab, bocah laki-lakinya menjawabnya.


Peristiwa itu sudah lima tahun, dan dalam rentang waktu lima tahun itu hidupnyapun tidak berubah, ia masih saja menjadi tukang patri, dan mereka masih mengontrak di tempat yang sama, rumah dua ruang dengan bahan anyaman bambu dipingggiran kota. Kotak patrinya sudah lapuk dan cat-catnya sudah mengelupas. Ia melakukan ritualnya, memepersiapkan bahan–bahan keperluannya dengan ditemani segelas kopi pahit panas dan singkong rebus. istrinya sedang diluar menjemur pakaian sedangkan anak perempuannya yang lahir tujuh hari setelah anak laki-lakinya mati bunuh diri asyik duduk di sebelahnya memainkan peralatan patri.

Serombongan anak lewat, anak-anak TK berbaju biru, mereka berceloteh, bernyanyi-nyanyi dari Balonku, Pelangi-pelangi, Naik delman hingga TTM, Buaya darat, dan lagu-lagunya Ungu. Anak perempuannya menghambur keluar bergabung dengan anak-anak itu, bercanda bersendau gurau, ngobrol tentang gantengnya Irwansyah dan keinginan menjadi Agnes Monica satu saat nanti, sambil terus berjalan menuju sekolah TK di ujung jalan.

Tapi anak perempuannya tidak bisa masuk ke dalam sekolah, ia dilarang masuk karena ia memang belum terdaftar sebagai murid. Dari balik pagar ia mengamati, ikut bernyanyi, ikut berhitung dan ikut pula baris berbaris.

Istrinya menangis begitu selesai menjemur. “Pokoknya kang saya tidak mau hal itu terjadi lagi, pokoknya ia harus segera disekolahkan”. Tanpa kata ia hanya mengangguk segera berlalu memanggul bebannya mencari uang untuk biaya sekolah.

Malam ini giginya ngilu sekali padahal masih pada kuat menancap di gusi, bukan hanya satu tapi semua tidak ada tanda-tanda akan tanggal namun semuanya sakit, ia sudah berkumur-kumur dengan air garam hangat namun rasa ngilu itu tidak hilang. Giliran rondanya setiap malam Jumat itu berrati malam ini ia harus bergadang, ia pergi ke gardu ronda menggunakan sarung lapuknya. Di gardu kecil pinggiran sekolah TK orang-orang sedang main gaple mengusir kantuk. Ia duduk di sudut sendirian saja merasai sakit seluruh giginya sembari melamun, membayangkan anak laki-lakinya yang telah pergi, gara-gara dia tidak mampu menyekolahkannya dan sekarang keadaan yang sama berulang, tingkah anak perempuannya. dan ia harus menyekolahkannya segera bagaimanapun caranya.

“Tolong pinjami aku uang untuk sekolah anak saya”. Pintanya pada Wak haji.

“ Waduh maaf saya sedang tidak pegang uang.”

Ia pergi, mencari mengiba ke orang-orang, memutari kampung, ke rumah pak Lurah, ke rumah Pak Guru namun tidak seorangpun memberi, sepertinya tidak percaya dengan kemampuannya untuk membayar. Memang pendapatannya hanya cukup untuk makan saja dan bayar kontrakan bahkan kadang tidak makan. Dan sekarang bagaimanapun caranya ia harus mendapatkan uang.

Tengah malam istrinya terjaga, peluh membasahi tubuhnya, ia mencoba mencari suaminya di dalam rumah, namun tidak ada, sepertinya ia belum pulang meronda. Mimpi yang baru dialaminya buruk sekali, seluruh giginya copot mendadak sekali dihantam dengan palu sebesar kepala manusia. Darah di mana-mana membasahi mulutnya, mukanya, bajunya. Siapa yang akan mati? ia mencoba mengingat-ngingat keluarganya yang memiliki kemungkinan akan segera meninggal, tapi seingatnya tidak ada generasi renta yang bau tanah dan yang pesakitan.

Ia pandangi lekat-lekat anak perempuannya yang tertidur lelap, lantas ia cium pipinya ia tidak mau kehilangannya lagi, ia dekap anaknya begitu erat hingga bocah perempuan itu terjaga dan meronta, sikutnya menghantam mulut ibunya. Sakit luar biasa, rasa asin di lidah, giginya copot, benar-benar copot seperti dimimpi, banyak bukan satu.

Hingga menjelang subuh ia terjaga, menangis memandangi lima giginya yang tanggal berlumuran darah, sekarang ia ompong, gigi depannya tiga atas dan dua di bawah. Adzan subuh Wak Haji menentramkan jiwanya, ia bergegas ke dapur menjerang air untuk mandi suaminya dan untuk secangkir kopi. Di depan tungku ia duduk memandangi api yang berkobar. Perasaanya lagi-lagi tidak menentu, ia melamun sambil melawan kantuk yang mulai menyerang. mestinya sekarang anak laki-lakinya sedang bersiap-siap mandi ke kali selepas sholat subuh di surau dengan bapaknya, lalu mempersiapkan semua keperluan sekolahnya, memakai baju baru yang rapi dan bersih, tas, sepatu dan buku-buku yang bagus dan baru. Kelas berapakah ia sekarang?

“Kebakaran !”

Orang-orang berteriak, ia segera berlari menghambur begitu selesai shalat subuh, warna merah di langit sebelah utara. Laki-laki itu berlari ke utara yang merupakan daerah kontrakannya. benar saja rumah kontrakannya terbakar api menyala-nyala, orang-orang berusaha memadamkannya dengan apa saja, air, pasir, dan tanah. Di dalamnya terdengar istrinya berteriak-teriak minta tolong. Api kian membesar kayu gampang terbakar, ia panik berusaha masuk, namun para lelaki menahannya. ia meronta begitu kuat sekuat ketakutannya bahkan ia tak rasakan ketika mulutnya tersikut dan giginya tanggal. sekali sentakan sekuat yang ia mampu, ia terlepas menghambur ke api yang membesar. giginya terjatuh ke tanah, tiga buah. Orang-orang hanya terteguh, menutup mulut dengan tangannya dan sebagian menutup matanya.

Bandung 280806 21:40

PISAU


Dia pulang membawa pisau, pisau tajam berbahan baja buatan luar negri, bentuknya seperti pisau daging hanya ukurannya lebih kecil, ujungnya runcing seperti belati. pisau itu sungguh memesona siapa saja yang memandang pasti terpana. Kabarnya pisau itu bisa memotong apapun benda hiduop maupun matu, buah maupun batu bahkan logam.

Jalannya makin dipercepat setapak licin berbatu akibat hujan tadi sore ia lewati dengan perasaan berkobar-kobar ingin mencincang. di kanan kiri kebun salak yang lebat. Matahari sedikit bersinar diantara awan senja. ia menjinjing tas di tangan kanannya, tas besar berwarna coklat tua, dan menggendong sebuah tas ransel mungil berbahan kulit. di kirinya tergenggam pisau, pisau baja yang tajam buatan luar negri. bau wangi kampungnya dan wangi daging yang ingin ia cincang makin menggairahkan. Asap mengepul dari masing-masing rumah pertanda tunggku telah siap tinggal bumbu dan kuali, ah betepa manisnya daging segar. Ia akan mencoba pisaunya untuk yang pertama kali semenjak terbeli.

Dia pergi empat tahun yang lalu ke Malaysia menjadi babu orang sipit di sana yang punya empat anjing dobermen penjaga pintu rumah. selain memandiakannya kerjanya adalah membersihkan rumah sebesar iostana dan memasak daging babi juga mencuci baju sepuluh anggota keluarga, mengasuh dua anak kecil dan melayani nafsu anak majikannya yang baru beranjak remaja. Ia bekerja lebih dari liam belas jam sehari tanpa libur, semua ia lakukan dengan tabah demi pisau itu. Dengan berbagai macam makian, pukulan dan tamparan semua menempanya uantuk menajdi algojo ketika pisau itu sudah digenggamannya.

Selama empat tahun pula ia menahan rindunya pada suaminya yang ia tinggalkan dan juga pada bayi laki-lakinya yang juga ia tinggalkan bersama suaminya. Merekalah yang menguatkan tekadnya untuk memiliki pisau itu bagaimanapun caranya dan seberat apapun. Dulu ia pernah merasakan ngilunya pisau Wati, Tuni, Tarmi juga Pak Lurah, Bu RT dan Wak Guru. Pisau-pisau mereka juga tidak kalah tajam namun sekarang ia telah memiliki ratunya pisau lebih tajam lebih kuat.

Pisau yang dibawanya tajam berkilat-kilat, sesekali memantulkan cahaya matahari, tangannya bergetar hbat dan jantungya berdegup tak menentu.

Sampai juga ia memasuki kampung yang dulu uia tinggalkan, bangunan-bangunan baru yang beraneka bentuk, bangunan yang dulu tidak ada, sekarang ada puluhan rumah megah dengan dinding keramik berwarna warni juga bertingkat seolah kehabisan lahan. Jarang sudah rumah-rumah berdinding kayu, rumahnya mungkin masih sama seperti ketika ia pergi dulu namun sekarang ia telah memiliki pisau yang bisa dipakai untuk apapun bahkan membangun rumah. Dulu rumahnya terbuat dari daun yang amat sangat rapuh. gampang diiris-iris oleh apapun.

Ia berjalan dengan kepala tegak dan dada membusung, pisaunya ia pegang erat sangat erat. di lapangan bola dekat pintu masuk kampung anak-naka kecil yang sedang bermain bola langsung berhenti, mencoba mengamati sosoknya, orang asing begitu aneh, iapun tidak mengenal kerumunan anak-anak itu, waktu empat tahun cukup untuk merubah wajah dan betuk tubuh seseorang apalagi anak-anak. Rindunya kian menggebu pada anaknya mungkin sekarang ia sudah bisa main bola, atau mungkin anaknya ada diantara meraka, namun ia tak mampu mengenalinya.

Anak-naka itu begitu terkesima begitu tahu bahwa perempuan asing itu sesungguhnya tidak asing, orang lama yang terimbas aura ketajaman dan keindahan pisau digenggamannya.

Jalan desa yang beraspal ia lewati, orang-orang keluar begitu mendengar anak-naka dengan gaduhya berteriak-teriak. kalaupun tidak keluar melongok dari jendela. tua muda semuanya, seolah menyambut barisan karnaval megah. mata-mata mereka terbelalak terpesona, bahklan iri memandanya. Ia yang membawa pisau tajam.

Tangan perempaun itu mulai mengibas-ngibas, mulai mengiris-ngiris dan memotong apa saja yang kena, bahkan rambut dan bulu terbelah, nyamuk lalat dan mungkin juga virus meregang nyawa. Angin berhenti bergerak. Pisau itu mulai berfungsi mengandung aroma magis, hingga semua terhipnotis dan hanya mampu menikmati kepedihan itu. Darh bercucuran mengalir seperti sungai ia menebaskan pisaunya membabi buta ada yang kena di mata, tangan, kaki, perut, kepala, bahklan hati. tak ada yang menjerit sebab suara-suara tiba-tiba mengilang. sayatan-sayatan itu tajam dan perih. Ia masih saja acuh berjalan menuju ujung kampung tampat suaminya menunggu melepas birahi dan anaknya tinggal untuk dininabobokkan dan mengenali wajah ibunya.

Tubuhnya kian bersemnagat setiap mencium bau anyir, tak ada keringat semua begitu ringan. Pisaunya yang berkilat-kilat sungguh luar biasa, memberikan kekuatan yang maha dashyat tak ada tandingan bahkan pisau Wati, Tuni, Tarmi juga Pak Lurah, Bu RT dan Wak Guru tak mampu menandingi, peperangan yanga tak seimbang terjadi mereka bersimbah darah. permpuan itu tersenyum puas.

Di ujung jalan rumah mungilnya tampak begitu asri dan meneduhkan. ia setengah tak percaya melihat semuanya, rumah itu, dulu rumah itu bercat hijau eperti maunya, sekarang rumah semi permanen itu bercat biru, halamannya yang cukup luas ditanami bebungan beranke ajenis yang tengah mekar, aster, dahlia, mawar bahkan kenanga, pohon rambutan yang dulu tumbuh disamping rumah sudah tidak ada berganti dengan pohon mangga. Dulu waktu ia pergi dengan memalsukan tanda tangan suaminya dan kabur tanpa pamit, rumahnya tidak seperti itu, tidak ada bebunga tidak ada rumput jepang yang menutup halaman. tidak asri dan teduh. Dulu ia tinggalkan anaknya di kamar depan dekat dengan pohon rambutan seorang diri, sedangkan suaminya sedang merumputkan kambingnya. Senja hari seperti sekarang ia pergi naik ojek dengan sebuah tas coklat belel, semua demi pisau, demia segala yang lebih baik, tidak hanya menggunakan pisau besi yang tumpul dan karatan.

Ia diam saja, air matanya menetes, seorang laki-laki lewat memanggul kayu bakar menurunkannya disamping rumah biru, ia akan masuk sebelum bertemu mata. laki-laki itu, matanya, mulutnya hidungnya, wajahnya, tubuhnya, laki-laki itu suaminya. tangisnya pecah kerinduannya memuncak, laki-laki yang melamarnya dan hanya mampu menafkahinya dengan mengurus sepetak sawah, merumahinya dengan rumah kecil semi permanen, dan memeliharan tiga ekor kambing.

Lantas seorang wanita keluar dari rumah itu, berkerudung dengan perut buncit tanda hamil menuntun seorang bocak lelaki yang lucu, anak itu ah mungkin anaknya. Laki-laki itu menggandeng perempaun buncit dan menggendong bocah laki-lakinya. pisaunya jatuh tanpa sadar menikam tanah. ia tersekat, laki-laki, perempuan berkerudung dan bocah laki-lakinya melangkah masuk. Perempuan itu mengambil pisaunya, ia bergegas berlari sambil menghunus pisau tajamnya menuju laki-laki itu. ia ingin menikamnya. namun laki-laki itu dengan sigapnya menangkis serangan, dengan pisau besi tumpul karatan yang selalu ia bawa, ia balas menikam hatinya. ia terhuyung jatuh dan limbung.

Orang-orang berkerumun, bau anmyir mulai menghilang dan luka-luka mereka sembuh kembali seperti sedia kala. perempuan itu tak mati meski lukanya lebar dan dalam, ia meraung mengibaskan pisaunya tanpa kendali, tapi tidak ada yang terluka, pisau itu menjadi tumpul meskipun berkilat-kilat dan runcing.

Bandung 010806 22:30

Rabu, 20 Mei 2009

LANGKAH BARU


DERAJATKU
Bulan Mei ada selarik duka yang ditinggalkan oleh masa lalu yang juga tak pernah mau beranjak. Mei bukan hanya bulan untuk individu, tapi bulan untuk negara ini Indonesia. Torehan luka teramat dalam meskipun ketika itu aku enggan tahu karena berkutat dengan kekecewaanku akan hidup yang kujalani. Mei tahun 2009 adalah langkah baru bagiku. Keputusan yang kubuat bulan ini adalah awal dari sebuah lompatan untuk tahun-tahun mendatang, langkah itu tak merubah diriku namun juga merubah, satu kalimat yang susah pada dasarnya akan merubahku namun ada bagian yang tak terubah. Menetapkan niat untuk menentukan arah dan lantas membuat keputusan yang sulit. saat harus memangkas ego, meminimalisnya ke ambang bawah, mengabaikan emosi dan belajar mengontrolnya juga meyakinkan bahwa berbagi adalah ibadah yang maha dan juga kewajiban.

RASAKU
Hal paling dasar dari sebuah langkah baruku yang berhubungan dengan jalan menaikkan derajat, adalah bahwa aku telah siap menerima apa yang paling indah dalam hidupku, membiarkan cinta mengapung berubah menjadi energi kasih yang menjadikanku tulus mengamini persahabatan. Ternyata menjalin persahabatan adalah hal terindah dalam hidup, dan bagiku Ia sahabatku yang paling istimewa, bukan karena aku mencintainya tapi karena aku mengasihinya, mengerti dan mencerna bahwa apa yang ia berikan juga merupakan kasih yang lebih agung dari cinta. Rasa tak bisa mati namun bisa berganti karena rasa itu energi dan kekal. Aku mengganti rasaku dari Cinta dan kecewa menjadi kasih dan sayang. Untuknya perempuan paling istimewa di hidupku, mari kita saling mengasihi dan menyayangi.

SAHABATKU
Bulan ini salah satu sahabatku terjatuh ke dalam situasi yang tidak pernah dimaui oleh semua orang, aku tak mampu menabahkannya karena hanya ia yang bisa, aku tak bisa menguatkannya karena ia yang punya daya. tapi aku mendengarnya, aku memeluknya semampu aku, membisikinya bahwa aku peduli dan mengerti dalam pengertianku, mendoakannya saja, karena doa adalah kekuatan yang misterius. Untuk sahabatku yang kuakui sebagai saudara. Bangkitlah sahabatku, mari jalani hidup ini dengan indah, sebab indah hanya tergantung pada cara kita memandang, mengindahkannya, mengibadahinya dan meyakini bahwa yang terjadi adalah yang paling indah dari Tuhan, dan seringnya kita tak tahu bahwa indah-Nya tak seperti mau kita.

Mari menyusun langkah baru mengawali bermil-mil jarak yang akan ditempuh.

Kamis, 14 Mei 2009

D I D E N G A R


Mei, posting pertama, setelah stagnasi otakku perlahan melunak.
Aku mendengar apa yang mampu kudengar, meski kadang hal-hal yang tak mampu kudengar, namun saat mendengarku aku sering mengabaikannya, mencerna apa yang didengar hanya yang ingin kutelaah lebih dalam. lebih bahagia didengar daripada mendengar, karena ternyata didengar itu sebuah kenikmatan saat dianggap ada, dianggap perlu diperhatikan, mendengar adalah memperhatikan orang lain. Ternyata manusia adalah bayi-bayi yang tak lepas dari gaya bayi-bayi untuk selalu didengar, bayi tak ingin mendengar hanya peduli dengan didengar. Dan aku melakukannya, aku hanya mau didengar, apa peduliku dengan keluah kesah yang lainnya, mereka harus mencadi pendengar, aku adalah segala yang lebih segala yang kurang oleh karenanya hanya akulah satu-satunya yang perlu didengar. Apa peduliku dan apa aku harus peduli untuk mendengar? Sebab saat aku minta didengar tak ada yang mau mendengar. Telinga-telinga telah tersumbat oleh earphone, oleh ipod, mp3player, oleh HP. Dunia menyisakan suara tunggal, musik monoton yang berualang, tak beritme. Mata tak pernah mendengar, mata tak cukup untuk mencerna. Aku mendengar aku didengar dengarkan aku, sebab akupun mendengarkanmu.

Senin, 27 April 2009

KULDESAK


Kebuntuan tengah menimpa, bukan hanya pada diriku namun pada beberapa orang yang kukenal. Sebenarnya aku belum sempat merenung untuk menguraikan kuldesak-jalan buntu. Hidup terlalu indah dibuat buntu karena ternyata kreator kebuntuan adalah manusia dan keadaan. "The secret" bilang bahwa ketika kita berpikir positif dan menanamkan kepositifan dalam hidup maka alam akan meresponnya mengirimkan energi positif yang tidak pernah habis. Seorang bertanya padaku "apa yang haru kulakukan?" Dia tengah mengalami kebuntuan dan belum juga menemukan celah untuk beringsut. Aku bukan siapa-siapa dan tak punya penerang ataupun alat gali untuknya keluar dari kebuntuan itu. Mungkin untuk menghentikan kebuntuan itu bisa saja mendadak muncul sebuah celah yang bisa di lewati atau membuat celah dengan merobohkan kebuntuan itu.
Harusnya percaya bahwa buntu bukanlah akhir dari semua, buntu hanya sebuah proses yang memunculkan kreatifitas, dalam keadaan buntu kadang muncul tenaga yang luar biasa diluar kontrol kita yang kemudian menciptakan solusi baru. Muara dari kebuntuan itu Tuhan dan nalar. PIkiran dengan daya-nya menguraikannya kuldesak, memberikan celah baru.
Namun ketika buntu itu menyergapku, menyerahlah aku pada hidup, meratap mengurai air mata, seolah tuhan menjatuhiku setumpuk beban tak terselesaikan dan tidak adil. Padahal adil-Nya kadang tak dapat diterjemahkan dengan pengetahuan kita.
Bos-ku pernah bilang duduk santai bersila, pejamkan mata ambil nafas tahan dan hembuskan perlahan-lahan sambil memusatkan pikiran pada yang Maha, maka rilex-lah pikiran dan tubuhmu, di sana akan didapati sesuatu yang berbeda yang kadang memecahkan kebuntuan. Lebih baiknya Shalatlah dan berserah sebab di dalamnya ada berjuta kebaikan.

Rabu, 22 April 2009

KESALAHAN YANG BERULANG



Sedih...... Itu rasaku yang muncul tengah malam kemarin, sedih karena aku terlambat menyesal dan kemudian instropeksinya. Bagaimana seharusnya? Salah yang berulang sangat manusiawi, tapi karena humanism itu akankah tetap melakukan salah dan kemudian terlambat menyadarinya? Aku telah memasang sebuat alat dalam maya benakku, suatu daftar yang bisa ditabulasikan untuk menghitung berapa kali error terjadi dan berapa kali instropeksi terjadi. Sesal dan instropeksi datang saat sadar dan malah kecenderungan saat emosi menukik tajam jatuh kedalam jurang. Kealpaan terjadi dalam sadar dan nikmat kita yang mengawang tinggi seolah tak berbatas. Bagaimana caranya untuk melakukan persilangan pada kedua bagian tersbut? yaitu saat sesal dan instropeksi mendatangi adalah waktu berada dalam posisi paling tinggi dan paling akbar dengan kestabilan emosi dan dengan sadar pula berkata bahwa yang manusiawi adalah yang melakukannya, sednagkan yang tidak manusiawi adalah yang mengabaikannya.
Manusia yang cerdas adalah manusia yang tidak melakukan kesalahan yang berualang. Tapi ternyata aku melakukannya terus, kesalahan karena aku ingin di anggap ada sebab ternyata dianggap ada itu penting dan ketika aku mencoba membantu. Mungkin aku masih terlalu lugu polos dan diam saja sehingga semakin teraniaya, ataukah semua kesalahan itu adalah kewajaran?

Senin, 20 April 2009

KENDALI MULUT ITU RASA DAN OTAK

Berapa kali aku terjebak pada situasi, dimana otak dan mulut tidak sinkron, atau tidak sejalan, mungkin terjadi stagnasi di antaranya, semacam kekalutan dan kebingungan yang menyebabkan ketidak sinkronan antara keduanya. Otak merupakan kuasa dari segala kuasa tubuh, ketika terjadi gangguan di dalamnya barulah kemudin kekacauan terjadi yang menyebabkan banyak kakacauan dalam sistem kita sistem tubuh kita yang menjadikan banyak hal terganggu apapun itu. Sebenarnya otak menjadi kendali bagi mulut untuk berbicara, saat hati teringkari untuk menjujurkan apa yang seharusnya jujur, pengingkaran itu terjadi di mulut dari setiap kalimat yang keluar tidak akan sesuai dengan apa yang ada di seluruh dunia ini, segala yang buruk tanpa pernah memperdulikan lawan bicara kita, perasaannya atupun kondisinya.
Idealnya sebelum berbicara ataupun mengatakan sesuatu, kembalikan semuanya dengan hati, perasaan dan nalar serta logika. Sedihnya adalah ketika otak telah menyusun serangkai kalimat yang terkonsep dengan indah dan teratur, mendadak terjadi stagnasi dan yang lantas keluar adalah semacam kalimat tak berisi, yang seringnya menjadi bahan cemoohan dan tertawaan.
Belajar untuk mengendalikan otak untuk mampu mengendalikan mulut

Minggu, 19 April 2009

BERGANTI HARI


Masih ada 2 hari lagi untuk menikmati umur 25-ku, sebab di tanggal 22 aku tak lagi berumur 25. Waktu cepat sekali berlalu, detik, menit, jam, windu seolah baru kemarin hari ketika aku menjejak tanah, berjalan berlari dan sekarang aku telah merenta, dengan semua isi kepala yang terkotori dan perilaku yang dimasukkan dalam tabulasi dosa. bukan lagi sosok bening yang hening.
Apakah arti usia, penambahan sekaligus pengurungannya yang diselebrasi setiap tahun itu bermakna apa? Selain bergantinya tubuh tambahan untuk cara pandang dan literasi, apakah maknanya selain mendekati mati? Sebenarnya tahun ini sangat crusial bagiku, karena menurutku manusia harus melakukan perayaan umurnya saat berumur 17, 25, 35 dan 50. Itu artinya aku telah melampaui 2 periode perayaan. 17 untuk berganti hari untuk mengerti hidup, 25 untukku mendewasai kehidupan. 35 Untuk memberi kehidupan, 50 untuk menyemai kehidupan. Namun aku masih ragu, apakah aku telah mengerti kehidupan dengan semua lembut keras dan indah buruknya? Begitu banyak hal yang tak habis untuk ku mengerti dari 17-25, dan sekarang disamping aku harus mengerti hidup aku harus mendewasai hidup. Bagaimana caranya? dengan berbagi dan membagi-kah?
Umur adalah rentetan hari yang berganti, semua indah dan buruknya, menempaku menjadi seorang yang tak pernah kehabisan bahan bacaan. Umur ya umur, berganti ya berganti, tak ada yang mampu menahan hari berubah, padahal maunya berhenti di masa paling indah dalam periode kehdupan. Periode itu tentu berbeda bagi masing-masing individu, bagiku sebagai manusia dengan segala rakus dan nafsunya aku belum menemukan indah hari ketika aku ingin menghentikan waktu, hanya dalam mimpi.
Merayakan periode bergantinya usia dengan apakah aku tahun ini? perenungan sajakah? Membuka album masalalu dan kemudian menganalisa atau membuat resolusi, atau mengabaikannya saja? Usia kan bukan sebuah patokan namun ternyata hidup-pun butuh acuan.
Dedaunan mengingatkanku pada hidup, pucuk, mekar, menua dan gugur dan umur adalah hari yang berganti mengiringinya

Jumat, 17 April 2009

VITAMIN B

Minggu ini setelah pemilu usai menyisakan setumpuk masalah karena berbagai macam regulasi dan kekurang cermatan komisi pemilihan umum ditambah juga kekurangdewasaan publik dalam menyikapinya, environmentku berdiam sedang meramaikan vitamin B dan vitamin K. Tadinya aku pikir bahwa vitamin B ini adalah sesuatu yang benar-benar "vitamin" yang benar-benar memiliki manfaat bagi eksistensi tubuh dan kehidupan kita. Tapi ternyata vitamin itu adalah sesuatu yang bukan real vitamin dalalam artian harfiah namun ya sesuatu yang beroengaruh sekali dalm kesehatan jiwa dan tubuh kita/ kami. Pada akhirnya aku mneyadarainya, bahw vitamin B ini adalah vitamin annual/ vitamin tahunan yang didapatkan dari hasil fermentasi energi dan kerja keras selam satu tahun, dengan mengorbankan waktu, kesehatan dan bahkan kadang harga diri, dengan point of view dari isi kepala orang lain yang menjadi partner simbiosis kita, yang pada akhirnya memberikan ikhtisar we are deserve or not for those vitamine. Ternyata pada masing-masing orang vitamin itu berbeda-beda dinilai berdasarkan entah penilaian subyektif atau obyektif aku tidak tahu, mungkin ada faktor like and dislike, prestasi, nilai kontribusi dan finally akhirnya pada kebiasaan dan manner (mungkin). Hanya saja karena semuanya bersifat tidak pasti alias tidak ada tolak ukur yang jelas maka kejadiannya menjadi begitu rancu penerimaannya dan karena belum ada kepastian pasti maka kejadiannyapun tak kalah rancu, haruskah aku menjadi apatis pada lingkungan dan tak menhiraukan klasifikasi itu agar aku tetap terarah dan tidak berganti haluan menjadi kaum oposisi?
Vitamin B & K sedang menjadi desas desus yang santer dan terus menerus mengisi kepala, jiwa kesadaran dan alam bawah sadar dari kami semua, pada akhirnya kami mengukur nilai dan diri kami sendiri dari vitamin B & K yang kami terima.Aku hanya berspekulasi dan pada akhirnya ada semcam ketidakpuasan yang muncul dan selalu ditelan sendiri karena biasanya simbiosis mutualisme sekalipun ada salah satu pihak yang merasa tidak puas, atau satu sama lain saling tidak puas meskipun pada dasarnya masing-masing mendapatkan manfaat.
Jadi sekarang mari menunggu saja " menunggu"

Sabtu, 11 April 2009

PINTU TERLARANG

Hari ini aku pulang dari Bandung, dengan serpihan luka yang mendera (drama), sepanjang kereta aku tak mampu menahannya, rasanya gila, tak bisa terbantahkan lagi bahwa aku patah hati, padahal sekali lagi aku sudah mencoba untuk tidak merasakannya dengan menekan dan mengabaikannya, namun yah ternyata mencoba menjadi robot bukan sesuatu yang mudah, tanpa rasa itu sesuatu yang mustahil karena pada dasaranya aku manusia dengan semua emosi nafsu dan kepekaaan rasa.
Baru rabu kemarin Bos memanggilku dan mengatakan bahwa nikmati saja apa yang kamu dapatkan di hidup ini, toh kita tak bisa melakukan apapun selain melakukan yang terbaik dan menikmatinya saja, karena itu merupakan jalan mensyukuri nikmat tuhan. Tapi ternyata ada satu waktu yang membuat tak mampu menerima keadaan itu. Sebenarnya semua berawal dari sebuah kesalahan, mulanya begini, kami berdiam dalam ruang tanpa pintu yang indah, Ruang itu sudah menjadi terlalu indah meski tanpa pintu, hiperbolanya seperti surga karena tak ada batasan, semua mengalir dalam sebuah sungai bermuara pada air terjun. Tapi tanpa sadar ada sebuah pintu yang muncul, berawal dari siluet, berubah menjadi sketsa berakhir dengan nyata lengkap dengan tekstur dan kuncinya. Sayangnya pintu itu hanya aku yang melihat dan terlarang, sudah kucoba untuk menghapusnya namun aku tak mampu, akhirnya kulabeli pintu itu sebagai pintu terlarang, yang didalamnya adalah misteri yang mungkin menghancurkan keindahan.
Kemarin-kemarin aku mendengar suara-suara dari balik pintu terlarang itu, hari ini aku melihat pintu terlarang itu berangsur musnah. Mestinya aku tak hatus sakit sebab toh aku tak mampu membuat pintu itu terbuka. Aku tak harus membebaninya aku hanya tinggal terima..

Sabtu, 28 Maret 2009

MENYATUKAN SAYAP YANG MASING-MASING


Terbadai, kata ini terlalu fulgar mungkin namun ini merepresentasikan apa yang kurasakan saat ini. sebuah pusaran angin yang menciptakan tsunami pada diriku lagi, setelah kemarin aku sempat terbadai. Kali ini badai yang kualami tak dapat kumaknai sebagai keindahan (bukankah tidak ada badai yang indah? yang namanya badai selalu membawa bencana. Apapun itu tidak pernah ada badai yang menjadikan indah) Basi.... Tapi kali ini seperti semacam tsunami dengan tinggi gelombang tak terjangkau.
Telingaku sayup mendengar sebuah rumor yang mungkin gosip yang mungkin fakta yang mungkin nyata, dan aku belum sanggup memastikannya dengan telinga dan mulutku sendiri, Padahal mestinya tak harus kuhiraukan, bukankan telah mencoba mengabaikannya selama ini. Luka yang tercipta perlahan menyembuh sudah, dengan kebohongan telah kupastikan bahwa aku menerima keputusanku yang telah kubuat dengan membadaikan diriku. Aku terlalu melankolis mungkin, tapi itu aku yang mencoba perlahan berubah dengan logika, dan kuatku merubah adaku, menghiraukan hak asasi tentang rasa.
Menyatukan sayap dari dua manusia yang hanya sebelah mereka punyai menjadi begitu indah, menghidupkan yang telah hidup, memaknainya dan merubah dengan arif santun dan bijak. Tapi ternyata aku belum mampu menerima faktanya.
Bila rasaku tak mampu untuk kurayakan,
bila rasaku tak mampu untuk kumerdekakan,
bila rasaku hanya bayang-bayang ilusi,
bila rasaku harus mengendap dan mati,
maka beri aku waktu untuk mampu menerima kenyataan,
bahwa sebelah sayapku bukan ia,
biarkan ia terbang menyongsong sebelah sayapnya yang lain,
menjadikannya utuh selamanya.
Seandainya doaku terkabul, untukmu menungguku, membiarkan sebalah sayap yang lain itu musnah, maka sayapku untukmu, bila aku telah siap, sebab aku masih embrio, belum menjadi berudu masih butuh waktu, bila kami punya waktu untuk menungguku menyempurna, tapi aku menjadi terlalu egois untuk itu.
Beri aku waktu untuk membunuh rasaku.

Sabtu, 21 Maret 2009

TERKALAHKAN KARENA EDUKASI

Berkali aku mengeluh, kalah karena edukasi, terkalahkan atau mengalah sebenarnya?
Masih menjadi sesuatu yang paradoksal sebenarnya atau sesuatu yang retorika belaka. Aku merasa menjadi manusia yang beruntung dalam ketidakberuntungan (keduanya saling berinterseksi tanpa meninggalkan atau melepaskan, seperti sebuah fungsi atau seperti sebuah satelit yang mengitari planetnya dalam bidang rudang yang sama (meski terkadang elips dan bundar)).
Dalam keberuntungan itu aku sangat bersyukur mampu mensejajarkan diri dengan orang-orang yang menatah hidupnya dengan pahatan yang mudah. Saking mudahnya sehingga membuatnya tidak penting dan berarti, dan dengan sombongnya saat ini, aku telah memaknai masa itu dengan sangat, bahwa ternyata pencapaianku adalah prestasi tersendiri yang dulu hanya sebatas mimpi-mimpi di benakku.
Bagaimanapun juga sekarang aku hidup dalam sebuah era yang mendeklarasikan bahwa edukasi formal adalah mayor, main of life. Artinya tanpa formal education lo ga bakal maju, menjadi seseorang or something....
Sekarang aku mau menapak mimpi lagi agar aku tak terkalahkan hanya karena edukasi, sebab edukasi hanya ciptaan manusia saja kan???
Padahal mahalnya edukasi untuk pendidikan tinggi disebabkan oleh sistem yang menjadikannya seperti itu, sebuah lahan bisnis dengan segala macam nilai keuntungannya. Menurutku pendidikan mestinya menjadi nurani bukan komoditi. Tapi itu cuma menurutku padahal kan diluar sana tidak menuruti mauku, apa bisaku?
Beruntunglah orang-orang yang tak harus terjebak dengan mahalnya biaya edukasi dan bisa total untuk meraih/ menyelesaikan pendidikan tinggi.
Bagaimanapun juga kurasa aku juga cukup beruntung

Rabu, 11 Maret 2009

SAKIT SOLITER

Kepala gw pusing luar biasa, terbadai, sakit cekot-cekot seperti terkena santet. Tubuhku demam dengan keringat seperti lumpur lapindo, mengalir rak henti-henti hingga tubuhku basah, banjir.Diagnosa awalnya hanya ada radang ditenggorkan yang menyebabkan demam, final diagnosa-nya adalah cacar monyet....... karena muncul juga ruam merah di tubuh dengan bintik kecil. kata dokter namanya cacar monyet, kata dokter? beneran tuh? Gw pikir monyat ga pernah kena cacar he ......
Seminggu sudah berlalu, sakit itu masih sedikit eksis di body gw dengan meninggalkan noktah merah di kulitku yang mulus luar biasa dan putih, virusnya juga masih eksis, acyclovir yang diresepkan dokter masih harus aku minum.
Sebenarnya saat seorang dalam perantauan sakit, aduh rasanya sedih bukan kepalang, tubuh yang terpuruk masih harus mengurus diri sendiri, cari makan minum, ke dokter (impact dari keegoisan kali ya), temen-temenku juga sedang sibuk dengan ativitas masing-masing. Akhirnya jadi makhluk soliter deh. Saat sakit begitu kepala jadi luar biasa liar (bukan dengan fantasi-fantasi nakal), tapi oleh bermacam ketakutan menjalani hidup, mengakukan dosa dan banyak lagi.
katanya ketika sakit kita sedang ditinjau ulang oleh Tuhan, sedang disayangi, diberi waktu untuk melakukan transaksi penukaran dosa-dosa kecil. Setelah sakit rasanya raga terlahir baru, jiwa yang telah menyepi kembali dengan damai.
Tapi GW ga mau sakit lagiiiii

Senin, 23 Februari 2009

ME (D 4 THING IN ME)

Aluweya aluweya aluweya....
This word sent me to the pass, when i have enough time to see Tom & Jerry Movie.....
Anyway aku bukan ingin bercerita mengenai Tom & Jerry yang menjadi musuh sekaligus teman sepanjang masa, aku ingin membicarakan 4 hal terburuk yang ternyata baru aku sadari sepenuh hati minggu kemarin. tapi 1 hal yang paling dasar sepertinya adalah : STOP COMPLAINING

"Stop complaining," said the farmer
"Who told you a calf to be;
Why don't you have wings to fly away
Like the swallow so proud and free?"

You know that song? Ini lagu relatif tua namun kalo mau mendengarkan kembali Rida menyanyikannya sebagai soundtrack Gie. Nah begini pada akhirnya, Complaining meruapkan ujung dari keburukanku. Pertama adalah membesarkan yang tidak perlu, dimana aku sendiri tidak bisa menolak banyak hal yang disodorkan padaku karena aku menekan diriku sendiri terlalu tinggi dengan keyakinan bahwa dengan semua keterbatasanku aku harus mampu melakukan semua, akhirnya ketika aku tidak bisa mengendalikan semuanya baru complain dan menjadikan orang lain sebagai korban.

Fiuh, sayangnya adalah dengan semua keburukanku banyak yang memanfaatkan, lantas ketika aku terpojok tak ada yang mengangkatku.

DRAMA... No No Drama..... LIfe is drama.....

Jumat, 20 Februari 2009

THE WORD IS THANK YOU


Yesterday several peplo said "THANK YOU" to me
Untuk sekian lelah yang kupertaruhkan dan semua energi yang kusalurkan meski sebagian adalah kewajiban, dengan berbangga hati aku menerima terimakasih itu, sebuah kata yang paling tidak membawa semacam energi baru yang segar, mencerahkan -meski sebagian - masih buram. Dan tanpa berburuk sangka aku menerima terimakasih itu sebagai sebuah ucapan tulus tanpa bermaksud menghibur atau motif tertentu lainnya. sedikit mampu menggerogoti kesal dan marahku -yang mestinya tidak harus, kan aku adalah muara sungai.
Lalu apa jawabku, "thank you too".
Sebuah kata sederhana yang ternyata membawa suatu hal yang lain, sangat lain dan disadari oleh banyak orang sayangnya kadang menjadi tidak lagi diperhatikan, ketika kejengkelan, marah, kesal sibuk dan pengkelasan terhadap kasta sedang terjadi.
Hari ini (sabtu) salah satu bagian kompas membahas mengenai ethika (pastinya etika bisnis). Bukankah terimakasih adalah etika juga? Namun ternyata kalimat terimaka kasih menjadi tanpa arti bila kita tak mampu melakukannya dari hati dengan perasaan, hanya kalimat sederhana yang dibunyikan tanpa ekspresi ataupun intonasi yang mendamaikan ataupun waktu yang sesuai.
Aku suka mengumbar terimakasih (pamer) ketika tulus ataupun ketika aku terpaksa melakukannya ke siapapun, dan ternyata aku sadari menjadi penting emosi, ekspresi, intonasi dan waktu kita mengucapkan terimakasih karena berpengaruh pada maknanya -tulus, ejekan/ sindirian, setengah hati.
Disamping mengatakan THANKYOU banyak hal yang merepresentasikan dengan benda dengan emosi dengan tatap dengan jabatan tangan, dari yang gratis hingga dimana benar-benar dibutuhkan perjungan dan budget untuk itu.
Sayangnya ketika aku mulai mengerti arti terimakasih "sebenarnya", aku bahkan belum pernah mengucapkan terimakasih secara langsung pada Bapakku yang meninggal tahun lalu, kalimat yang aku bunyikan dengan mulutku dan ia masih ada ketika mendengarnya, kalimat yang kuucapkan untuk mewakili semua terimakasihku. Rasanya sudah menjadi lain bila aku mengucapkannya di hadapan nisannya ataupun di depan fotonya.

Rabu, 18 Februari 2009

MARAH?

Hari ini aku rasanya ingin sekali meledak, marah-marah.............................................
Aku galau, lelah, tertekan, dan semuanya yang menyebalkan berdatangan.
Hari ini aku berjejal dalam sebuah ruang seperti pengungsi ROHINGYA yang berjejal dalam perahu berhari-hari hingga tak ada tempat untuk duduk setelah diterlantarkan oleh THAILAND, terus berdiri berhari-hari diatas perahu tanpa akomodasi (makanan). Ada beberapa pilihan memang, menunggu ambruk /mati karena kelelahan berdiri atau terjun ke laut berharap ada keajaiban, Tuhan mengirimkan perahu lain, sang penolong. Tak ada pilihan yang indah akhirnya hanya tinggal menunggu seleksi alam, apakah kebaikan Tuhan akan datang atau tergerus oleh seleksi itu.
Aku ingin mengelola marahku, namun hari ini aku tidak bisa, aku gagal mengelolanya, dan yang membuatku marahpun mungkin tak juga mengerti bahwa aku marah. Kalau aku punya kesempatan (keberanian) untuk memberitahu aku mau, tapi sayangnya dogma bahwa itulah kewajibanku sudah tertanam dalam-dalam, dan mungkin mereka malah bertanya balik mengapa aku harus marah-marah.
Itulah takdir atau malah satu keindahan menjadi bagian terbawah dari rantai makanan yang tidak mengurai apapun-muara hulu-. Meminjam istilah temen ku "karena solider akhirnya soliter" pertanyaannya apakah aku terlalu solider? Rasanya aku memang sudah soliter, dan susah mencari yang solider padaku.
Mengelola marah itu harus bagaimana sih sebenarnya. Ambil nafas dalam-dalam, taruh kemarahan diujung genggaman dan hantamkan genggaman itu pada orang ataupun lingkungan yang membuatmu marah. Atau ambil nafas dalam-dalam, atur nafasmu satu-satu, pejamkan mata, rilexkan badanmu, biarkan marahmu mengepul seperti udara, ambil nafas, tahan, hembuskan, ambil nafas tahan hembuskan, ambil nafas tahan!!

MY FRIEND MY KAKA



Baru aku sadari ternyata February adalah bulan yang istimewa, bukan hanya periode semesta merayakan rasa. Bulan ini "my kaka" ulang tahun, meski setelah aku mengobrak-abrik ruang penyimpanan di otakku, aku sudah tak lagi mampu ingat kapan tepatnya tanggal berapa. Kemarin aku mengiriminya SMS just Happy B Day, dan dia terkejut ( as i wish)
Rasanya sudah cukup lama tidak bersilaturahmi dan mungkin malah frienship yang terjalin sudah mulai kabur. Aku ingin bicara tentangnya, my friend my kaka. Perkenalannya bukan sesuatu yang penting kupikir, dan tidak meninggalkan bekas yang istimewa, bahkan dalam keseharian pertemanan tidak melakukan hal-hal yang istimewa. Hanya jalan, nongkrong di mall, membagi rasa, membagi suka, membagi semuanya. Hal yang tak mampu aku bagi dengan siapapun, tidak ada batasan pribadi rasanya.
Darinya aku belajar mengerti pertemanan, darinya aku mengerti rasanya menjadi teman, dia mengajariku menjadi seseorang, mengarahakan ketika aku tersesat, menyalahkan ketika salah, membenarkan ketika salah, tanpa pernah menggurui, tulus mengerti diriku apa adanya.Tidak ada tuntutan dari masing-masing kami.
Hanya sayangnya keadaan berubah, semua bukan karena salahnya atau salahku, namun keadaan yang memaksa untuk berubah. Meski ia tak punya waktu banyak untukku ataupun tak lagi ada selama aku mau, aku selalu merasa bahwa ia "ada", di hatiku, di ingatanku, dan aku berharap diapun sama. Apakah ini dinamakan teman sejati? Semoga saja, teman sejati itu yang membuatku nyaman akan banyak hal, yang membuatku selalu mengingatnya. Itu saja. Do you have a good friend?

Sabtu, 14 Februari 2009

MERAYAKAN RASA


Rasa itu bernama cinta, yang dirayakan oleh manusia (penasran juga binatang or even kutu merayakan atau tidak sih? Atau mungkin mereka juga tahu bahwa dikalangan manusia sedang merayakan rasa cinta), cinta yang universal, melintasi gender, melintasi umur, dan semua lintasannya. Celebration itu beraneka bentuk ternyata, dengan mata, dengan kata, dengan tindakan, dengan benda, dan bisa jadi merayakan rasa mengujunginya dengan melampiaskan nafsu. Hari ini semua bersuka cita, menyanyi tertawa, dan semua perlakuan lainnya. Hari ini sudah ditetapkan oleh sebuah sistem yang kasat dan tidak pernah tertulis seperti kitab suci ataupun prasasti Babylon or magna charta (mungkin sama seperti norma-norma dan ethica), bahwa 14 february adalah perayaan, dan manusia mengimaninya, seolah menjadi agama sehingga ada keharusan untuk merayakan rasa, dengan bunga, cokelat dan apapun yang berwarna merah muda.
Pada akhirnya aku mau membicarakan diriku tanpa bermaksud menggurui. Aku sempat bertanya mengapa harus larut dalam hari raya ini, atau menjadikannya istimewa, dan pada faktanya memang tidak perlu. Wajar mengekspresikan rasa dan merayakannya, namun cinta menjadi terlalu tersier bila dirayakan hanya dalam satu tahun sekali, mestinya kan merayakannya setiap hari dengan apapun itu meskipun hanya lewat yang paling sederhana. Tapi itu pemikiranku, lha wong aku sendiri tidak pernah merayakan rasa itu setiap hari. Ke Tuhanku? Mestinya aku lebih mampu merayakannya dengan mengimani dan mengibadahinya. Ke Ibuku? Mestinya aku menaburkan perasaan sayang ini lewat kalimat kecil yang menunjukkan kepedulian dan kehadiranku untuknya. Ke diriku? Lewat makanan yang terkontrol dan olahraga yang seimbang. Ke keluargaku? Lewat SMS ataupun kunjungan. Ke teman-temanku? Mungkin hanya dengan say Hi or Sorry. Ke peralatanku? Mungkin hanya dengan menyimpan dan merwatanya baik-baik Dan yang lebih penting ke orang lain yang bukan gendernya the one who I admire most? Apa aku mencurahinya dengan cinta? Tidak ada apapun.. Lantas dengan moment yang ada setahun sekali ini, apa aku merayakannya untuk daftar-daftar yang aku buat? Tidak, apa aku mewakilkan rasaku dengan bunga? Dengan coklat, atau sekedar text SMS dan mengucapkan happy valentine langsung? Tidak sedetail itu, sebab aku ingin mengingkari perayaan rasa itu.
Malam tanggal 14 february aku menerima SMS “happy valentine”. Hanya kalimat itu, sesuatu yang di luar expectasiku, dari orang yang juga di luar expectasiku (meski ternyata aku menginginkannya). Butuh waktu setengah jam lebih untukku membalasnya dengan kamilat yang juga sederhana “happy valentine too”, dengan debar yang tak berkesudahan dan ternyata aku menunggu jawabnya atau sekedar SMS lainnya. Hingga malam tenggelam dan aku larut dalam demam karena influenza, ia tak lagi mengirimi apapun.
Akhirnya aku merayakan rasa dalam mimpi, dengannya, lewat tatap, lewat sentuh, lewat bahasa, lewat bunga, lewat coklat, dan yang lebih terpenting aku merayakan rasa dengan rasa (sesuatu yang tadinya maunya kuingkari), dan aku perlahan mau merayakannya setiap hari. Merealisasikan merayakan rasa dengan perasaan dan tak berkesudahan.

Jumat, 13 Februari 2009

MENGADILKAN DIRI


Tahu justice league kan? (itu kumpulannya Batman, superman, spiderman dan semua yang diakhiri man man-nan lah he he he he he kayaknya myman, kuperman, doberman, tuman, siluman gitulah tapi ada batgirl, supergirl, ada juga gogogirl, ada wonder wonam ding). nah setahuku mereka itu didirikan dengan azaz menegakkan keadilan di dunia fana ini menggunakan kemampuan mereka dan body mereka, dengan bermacam tools or any gadgets. Itu setahuku hanya saja aku masih tidak tahu persepsi adil bagi mereka. Kalau dilihat-lihat sih mereka kayak revenge, coz mereka kan rata-rata hidupnya tidak adil (dari sudut pandangku selaku viewer loh), coba deh kan si clark kent tuh anak miskin, si bruce wayne bokapnya mati, spiderman lebih miskin lagi, apalagi siluman, udah miskin, buruk rupa bau busuk dan fortressnya pohon beringin tua yang sudah sangat lapuk, terpencil di sekelilingnya adalah tempat pembuangan sampah akhir yang baunya busuk luar biasa.
Nah sekarang nih, aku lagi kepikiran, apa gw sudah cukup adil? (diadili, mengadili, teradili?) from many side, mau yang vertical maupun horisontal. Ternyata setelah aku menganalisa dengan sesederhana pemikiranku yang sederhana, engga adil banget (PS : "t"nya x 10 x 100000000000000000000000000000). Hiks hiks.... tapi kok masih saja berlaku tidak adil. Coba apa saja? Engga kehitung sama sekali, ke Tuhan? ruar biasa banyak, ke keluarga .. extremm. ke teman... parah, ke bos ampunnnn.... engga ada yang bener deh....
Jadi akhirnya sampai pada satu kesimpulan, kemarin aku merasa sangat tidak adil. Hidupku tidak adil, orang-orang disekitarku tidak adil, baik perlakuan ataupun ucapan. Nah kalo sudah seperti ini aku baru nyadar bahwasannya mestinya dengan ketidakadilan yang kualami, aku berusaha untuk membuat keadilan, membuat orang lain (Incl Tuhan), merasa adil. Mestinya aku berfikir bila ingin diperlakukan adil maka aku harus adil (my idealism). Tapi kesadaran itu selalu sifatnya temporer, saat sudah nyaman dengan semuanya.....lupa dehhh.....
Tapi disebabkan sekali lagi bahwa neraca timbangan "adil" susah diterjemahkan, maka ya adil itu selalu relatif, di mata saya, di mata yang lain juga pasti berbeda-beda bahkan bagi yang sama-sama terzolim, point of viewnya berbeda banget....
Mempelajari justice league, menurutku belajar untuk mengadilkan diri dengan mempelajari dari lingkungan, dari orang lain, dari sudut pandang sendiri, dengan logika. Chayoooooo

Rabu, 11 Februari 2009

MEMBERATI HIDUP

Semalam jam berdetak memekakkan telinga, tetangga kosku sedang bersuka cita entah merayakan apa hingga derai tawanya menggetarkan kaca dan asap rokok menciptakan mendung sendiri hingga lewat jam 2 hingga lantas dengkurnya menggorok telingaku dengan sadisnya.Aku terjaga, mata melotot pikiran melayang, pastinya karena aku bujangan he he he he he he he. Insomnia atau amnesia? Sama sekali tidak bisa tidur. Sholat, meditasi, membaca atau aktifitas lainnya sudah tak lagi sanggup kulakukan -aku kelelahan, meski akhirnya aku shalat juga (mengekspos ibadah nih).
Aku ditampar (tampalan kecil oleh nyamuk mungil) bahwa semestinya aku sadar, selama ini aku terlalu over sense, terlalu perasa, peka, sensitif dan seabrek kata yang mewakilinya. Believe me, i was born to be sensitive person (besides i was born to be an artist), makanya dengan kapasitas otakku yang mungkin agak cukup sedang besar, aku memembiarkan setiap keping kesensitivan atau hal-hal yang sensitive itu mendiami bagian otak ini, mengendap lama, lantas dimunculkan lagi saat otak ini mengikuti perasaan untuk sensitive.
" Makan tuh kesensitivan lu, impactnya ke body lu kan (i'am fat enough), to your soul, memberati hidup lagi dan lagi terus menerus selalu selamanya, until you death" my other soul said.
We ke ke ke ke ke ke ke aku jadi sadar sesuatu bahwa sebenarnya dengan semua kesensian itu sebenarnya aku jadi bisa menulis loh, seperti healing, penyembuhan, meski masih tanpa arah. So if i want to be a writer mestinya aku harus semakin sensitive, namun harusnya kepekaan itu lain bentuk, bukan untuk memberati hidup, tapi untuk mempelajari hidup.
So mari berubah, belajar untuk mengarahkan kepekaannya, untuk mencoba meringankan hidup, untuk mengingatkan dan untuk ibadah.

Selasa, 10 Februari 2009

SOLUTION NAME MONEY

Hari ini ada jutaan manusia yang berjejal diantara hiruk pikuk hidup. Dengan keragaman usia, bentuk fisiologis, daya nalar, intelegent dan juga gender (you know male, female and transeksual maybe). Semua berkutat dengan rutinitas kesibukan dengan segala permasalahannya. Dan aku salah satu diantaranya, bersenyawa dengan rutinitas perkejaan, bersatu dengan permasalahan, dan semua itu mengakibatkan sakit kepalaku seolah kekal mendiami kepala ini, tak mau enyah sejak seminggu lalu. Aku mencoba untuk tidak mengkonsumsi obat kimia, karena perlahan aku mulai percaya bahwa obat kimia memberikan efek yang pada faktanya adalah sebuah kenikmatan. Aku berharap tidak ada pembuluh yang pecah ataupun ada ketidaksesuain dengan sistem dan jaringan di kepalaku.
Hari ini temanku bilang bahwa sakit kepala yang berkepanjangan itu dimulai dari hati, bukan cuma kepala, dan aku mencoba menelaahnya, merunut dari mana sakit kepala itu berasal, barangkali ada benda asing yang mendiami diriku sehingga getah beningku harus bekerja keras untuk membuat antibodi, dan efeknya kepalaku sakit.
Pada faktnya selain faktor kemungkinan adanya benda asing itu yang belum bisa aku jawab kecuali mendatangi dokter (unfortunately my insurance is not valid anymore), aku mulai mengakui bahwa sakit itu berawal dari hati, dari rasa menjalar ke pikiran, menganiaya otakku sedemikian rupa hingga terjadilah, gangguan pada system itu sendiri.
So what the matters? Banyak, dan dengan kemampuanku yang terbatas dalam mencerna dan mencoba memecahkan, aku menyimpulkan bahwa money is the solution. Money may erase a lot of matters. Dan aku mulai yakin bahwa bukan cuma aku yang terseret ke dalam lingkaran "money is the solution". Ada banyak masalah yang bukan uang solusinya, namun dengan menghitung probabilitasnya, aku merasa bahwa money bisa membeli solusi-solusi itu.
Coba lakukan tabulasi dari permasalah kehidupan yang terselesaikan dengan uang. Saat ini / krisis bukan hanya soal climate crisis but also economic crisis and it's started with money and the solution is money.
Money may control life, the real life. Anything and many thing dan kita tidak bisa mengingkarinya. Orang menjadi liar tak terkendali, melakukan aniaya keji bermula dari uang dan solusinya adalah uang.
Fiuhhhh..... Is it true? Money is the solution for many thing?

Minggu, 08 Februari 2009

HULU PARA HILIR

Fiuhhhhhhh....
Ada seratus sungai yang mengalir dari hilir, besar kecil, beriak dan tenang, bening dan keruh dengan polusi yang luar biasa. Mengalir beratus kilo, mengikuti kelok dan liuk, batu-batu besar, ranting-ranting pohon. Didalamnya ada ikan yang hidup, ada yang bahkan tak satupun makhluk hidup yang mampu bertahan. Semua mengarah ke satu muara hulu. Di sanalah aku berdiam, bukan untuk menampung semuanya, namun untuk tenggelam di dalamnya.

Jumat, 06 Februari 2009

MENGGAPAI LANGIT ATAU?

Mencoba sadar bahwa aku menjejak bumi, bukan karena aku punya sesuatu yang menyebabkannya, namun hanya karena aku merasa bahwa teramat istimewa. Padahal langit tertinggi yang mampu kusentuh hanya tempurung kotak yang kudiami, katak dalam tempurung, lumayan sih untuk hidup sayangnya tidak cukup untuk melompat, berputar, bahkan terbang, dan aku sudah nyaman hanya dengan meringkuk saja Sampai punggungku bongkok dan lumutan-pun aku masih nyaman-nyaman saja. Di tempurung itu toh tidak ada kodok lain sama sekali jadi aku bebas, aku yang ditasbihkan menjadi yang terbaik. We ke ke ke ke ke my onw kingdom, menjadi raja buat diri sendiri dengan segala keakuannya.
Kemarin ada yang membuka tempurungku, dan sebenarnya aku bingung. Itu artinya aku menerima sebuah kemerdekaan. Seperti budak belian, aku sudah bisa berputar, berjumpalitan tanpa arahpun tak ada batasan, merdeka. Aku melongok keluar melihat, langit tinggi sekali......
Aku diam lama, harus melompat kemana? atau hanya sekedar melompat saja? belum juga memutuskan untuk lompat, sekawanan binatang aneh lewat, badannya besar dan montok ruar biasa, mungkin aku hanya sebesar upilnya. Telinganya lebar, hidungnya panjang. KUdengar orang berteriak-teriak. Gajah!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!, aku menutup kembali tempurungku, takut....., padahal kan selama ini aku tidak takut aku aman.
Ku buka lagi saat tak lagi kudengar derap langkah, dengan takut-takut aku melompat. Waw bau tanah, bau rumput wangiiiiiii, ini kemerdekaan. Seekor bangkong datang, duduk didepanku, apa peduliku dengannya? biarkan saja toh aku adalah raja, tak perlu takut. Aku melompatinya, membiarkannya. Belum juga aku menjejak bumi, bangkong itu, melompat menindih tubuhku. Aku gepeng

Kamis, 05 Februari 2009

NORMALISASI KEABNORMALAN


Dasar sinting, sableng, gemblung, sundal, tak normal!!!!!! kalimat memaki itu telah menjadi makanan sehari-hari, di TV ataupun bahkan hidup realita. Sebenarnya ukuran normal itu di mana sih? Setahuku tidak ada sebuah kitab ataupun peraturan bahkan prasasti yang menyatakan kenormalan terpampang di dunia? (ada kamu saja yang tidak tahu). Dan aku? lets see..... berapa kali aku didefinisikan tidak normal ataupun disebut tidak normal, bukan sekali, berkali-kali dan aku mengamininya saja, benarkah? No body want to be abnormal, and i wish i'am not (it's mean that i'am normal??). Membingungkan bicara tentang normal. Kelahiran normal ditandai bila fetus keluar lewat jalannya, berat badan normal bila perhitungannya sesuai, kulitnya normal, hidupnya normal, kehamilan normal, bayi normal, semua normaaaaaaaaaaaalllllllllllllllllllllllllllllllll.....
Disebut tak normal mungkin menyakitkan, namun aku sudah mengalaminya semenjak kecil dan aku bingung akhirnya diperiode mana aku normal atau pernahkah? keabnormalalan itu dibentuk atau diapakan? yang pasti orang melihat apa yang ada dihadapannya dan mereka tak bia disalahkan, sebab mereka bukan siapa-siapa, mereka hanya angin yang lewat, tidak pernah ada di sisi menjabarkan hidup yang "indah"
I'am abnormal, cerdas luar biasa, merealisasikan mimpi-mimpi, seperti spiderman, seperti batman, seperti superman, seperti Bima seperti Arjuna seperti Karna seperti Timun Mas, seperti sangkuriang.Kuat cerdas tampan punya segala. Are they normal? When you judge someone they are not normal do you ask your self are you normal? Many people say just normalize the abnormal, it's mean that it's easy to change. Fiuhhhhhh i want fly reach the sky stay in the moon for a moment then death on beautiful angel hand.

MARI BERSOMBONG RIA

Sombong!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Sudah banyak cerita baik sinetron, film dan novel ataupun cerita lainnya menceritakan tentang kesombongan, yang berakhir dengan kesialan pada yang sombong. Kadang berawal dari hal-hal kecil yang tak perlu disombongkan hingga hal-hal yang memang wajar disombongkan. Aku? kalau aku sering melakukan kesombongan, banyak hal, dari yang paling sederhana dan benar-benar terjadi/ kumiliki/ kualami ataupun yang pasling niskal, yang paling engga banget..... Tapi jujur loh rasanya nikmat sekali melakukannya, cara terbaik untuk balas dendam setelah disombongi, tapi salah target lha wong sasarannya adalah orang-orang yang tak pernah membuatku merasa tersombongi. We ke ke ke ke ke
Kalau kuhitung dengan jari kesombongan yang kulakukan, pasti sudah tidak mencukupi 10 jari tangan dan 10 jari kaki, sepertinya harus ditambah dengan jumlah jari kaki binatang kaki seribu, jumlah akhirnya? ratusan !!!!!!!! berapa lapis? ratusan salah ribuan. BUkannya apa-apa dalam bersombong ria itu rasanya hidup lebih bermakna, punya nilai khusus dan lebih, coba perhatikan wajah-wajah orang yang terpana mendengar kesombongan kita, mungkin melotot, melongo, menahan napas, atau kelepasan kentut, ada yang geleng-geleng kepala dan ber"ck ck ck ck ck hingga ludahnya tersembur. POkoknya menyenangkan, mungkin seperti orgasme (tabu banget ya ngomongin ini).
Makanya aku berani bilang rugi banget kalo engga sombong, pokoknya sombongkanlah apapun itu, meski hanya kedipan yang bagus, tulisan yang bagus, ataupun kutil yang bagus. Dengan sombong akan menjadikan terkenal, nah setelah itu barulah bertobat. Menyembah Tuhan, mengadu bahwa semua kelakuan itu adalah sebuah kesalahan. Sayangnya sekali berbuat seringnya menjadi kecanduan, seperti aku.....

Senin, 02 Februari 2009

MEMAKNAI HIDUP DENGAN MENGELUH

Waduh-waduh saya lagi kebingungan nih. Sebagai manusia -sebagai pribadi- seringkali menyerah menghadapi hidup, kenapa? Ketika menemukan konflik, masalah dan kemudian beruntun dihantam lagi-lagi dan lagi tak henti-henti. Sebagai manusia wajarkan bila saya mengeluh? Itu sisi paling manusiawi, sebab hakikat menjadi manusia bagiku adalah wajar bisa mengeluh.
Mungkin yang harus dipastikan adalah porsinya, porsi mengeluh itu sangat luas dan bervariatif. Bisa sebesar biji kedelai juga bisa sebesar kuda nil. Mungkin dengan berkeluh kesah menjadi tahu, menjadi bisa belajar, mendapatkan tambahan referensi dari orang lain yang kemungkinan memiliki naskah hidup yang lebih besar.
Tanpa mengeluh bukan berarti manusia menjadi sangat kuat, seperti batu, seperti gunung. Atau mungkin ia tidak hidup sebab ia tidak punya apa-apa untuk dikeluhkan. Sekali lagi bagiku sangat manusiawi mengeluh namun tahu porsinya, sehingga mengeluh tidak menjadi gaya hidup. Hanya kebutuhna sekali dua kali saja.

MENENTUKAN PILIHAN



Hidup dipenuhi dengan pilihan, dan mungkin tanpa memilih kita tidak hidup. Seringnya pilihan-pilihan yang disodorkan pada kita kadang tak diketahui mana baiknya atau buruknya, barulah ketika kita menjalani yang terpilih itu kita tahu bahwa kita benar atau salah. KIta yang menentukan pilihan itu bukan orang lain, kita yang mengendalikannya, meski kadang kita meminta saran ataupun masukan, namun kitalah algojonya.
Berapa kali terjatuh? Bukan sekali, tapi berkali-kali. Bagiku yang paling tahu kebaikan akan pilihan yang kita pilih adalah yang menjalani. Sesal tak akan dilemparkan pada yang lain. Beruntunglah bagi orang yang mampu menganalisa dan punya waktu untuk memilih dan punya pilihan. Sebab seringkali kita terjebak dan tak punya pilihan. Bagiku hidup itu mati saat diam saja dicocok hidungnya untuk mengikuti yang sudah ditentukan. Bukan pengingkaran pada kuasa Tuhan. Ia sang maha memilih, Ia yang punya pilihan-pilihan, namun kita diberi pilihan.
Jujur saja aku bukan seorang pemilih yang baik. Aku seperti daun yang terombang-ambing ombak dan angin, hanya mengikuti arus yang mengalir, Aku tak cukup mampu menganalisa pilihan-pilihan, hingga kadang dengan putus asa setelah melewati waktu yang lama aku memilih yang lantas salah. Aku belum juga mampu menganalisa, sebab seringnya kejadian-kejadian tidak terulang lagi. Istilah belajar dari kesalahan bila kondisinya berulang, namun bila sejarah tidak berulang dan semua yang dihadapi termasuk pilihan baru maka apa yang harus aku lakukan? Berbagi?