CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Rabu, 24 Juni 2009

DI BALIK PINTU

Setiap kali pintu itu di tutup, ia masuk ke dalam dunia baru. Dunia berbentuk kotak dengan ukuran yang kecil. Dunia itu tak bercahaya, gelap gulita. Ia harus meraba untuk tahu posisi, namun seluruh dinding dunia di balik pintu itu rata, tak sedikitpun bergelombang, lekuk, ataupun sudut, sehingga pintunyatidak pernah ditemukan.

Begitu pintu ditutup nyalanya padam, ia bukan lagi Agni yang menyala berkibar. Ia tak tertambahi oksigen ataupun gas, yang ada ia dibanjur dengan air. Nyalanya tak menyisakan bara ataupun jelaga, meninggalkan pekat yang membutakan mata.

Dulu ia selalu menghambur membuka pintu, ia yang bersinar dinamai Agni, bersaing dengan matahari, membisiki bebunga dengan kata-kata cinta, menghangati kulit manusia yang telanjang, menguapkan embun, membuat angin menggeliat, membantu fotosintesa dan menyilaukan mata. Dulu ia mengajari kami menyanyi, lagu Cublak-Cublak Suweng, Suwe Ora Jamu, Dandang Gula, Pucung dan lagu dolanan lainnya. Dulu ia juga mengajari kami menari, Gambyong, Golek, Merak, sebagai implementasi hasil yang ia peroleh sewaktu kuliah di STSI, sekedar buat mentas Agustusan. Dulu ia juga mengajar di SMA di kota sebagai guru kesenian. Waktu itu usianya baru dua puluh empat tahun, ia nyala yang teduh dan hangat, bukan panas yang membakar.

Masih kuingat waktu ia mengamini kerlingan mata Tirta, membuka pintu hatinya yang selama ini terkunci, membiarkan air mengaliri gunung yang terpanggang, melembabkan, hingga rumput-runput tumbuh, bebunga warna merah putih biru membiaskan cahaya, menciptakan spektrum dan menimbulkan pelangi, membiarkan cinta menstabilkan suhu. Tirta lantas melamar Agni untuk menjadi pelengkap hidupnya, membawanya ke rumah baru, berpintu baru yang bila dimasuki membuatnya padam, terkunci dari luar dan gelap gulita.

Aku masih punya fotonya sebelum ia memasuki pintu itu. Foto perempuan muda berkulit mulus, berbibir tipis yang merah, hidungnya mancung. Lesung pipinya terlihat sebab ia sedang tertawa. Agni yang cantik dengan rambut lurus, kupasang foto itu di depan pintunya, pintu kayu besar dari jati dengan ukiran Jepara.

Ia menjerit keras, tapi tanpa suara, hanya hatinya yang meronta. Pintu itu dibuka, sedikit cahaya masuk, ia mampu melihat sebagian langit, hanya sepersekian detik. Sebelum pintu di tutup lagi dan di kunc. Sekarang lampu temaram bersinar redup. Hingga sudut-sudut tak terlihat. Agni menggigil, ia disiram dengan air es.
“Aku mau makan!”
Suara Tirta menggelegar seperti air bah menghambur menenggelamkan. Beringsut Agni meraba, mencari kompor, membuka kulkas, mencari sesuatu yang bisa di masak. Ia pun lapar, seharian meringkuk terperangkap dalam gulita tak bertepi. Hanya ada telor, ia ceplok dan dihidangkan dengan nasi kemarin.
Tirta memandang tajam, seperti bongkahan es batu yang runcing, merobek-robek dan mengoyak.
“Apa ini, kamu bisa masak tidak sih? Masa tiap hari telur lagi telur lagi, kamu mau aku bisulan?”
Tirta memuncratkan bahnya lagi, ia melempar sepiring nasi dan telor itu, berserakan di lantai. Agni mengumpulkan, memakannya sembari berusaha memisahkan dengan pecahan piring, sebab ia memang sangat lapar. Tapi ia tak lagi sempat menikmati makanannya, tiba-tiba Tirta menjambak rambutnya yang panjang, menyeretnya ke kasur, menelanjanginya, menyodominya. Agni hanya meringis, ia dibekap dan disekap.

Pagi itu pintu dibuka, Tirta mengajak Agni menyambangi alam fana. Tidak lupa didandaninya dengan cantik, rambutnya di sanggul, memakai ronce bunga melati. Selepas subuh tadi Tirta berlutut, menciumi kaki Agni, memohon ampun, mencurahinya dengan cinta. Bersumpah tidak akan mengulanginya. Agni tak pernah tahu itu nyata atau maya. Ia hanya membisu membiarkan dirinya padam dan menghilang. Ia meminta Agni memakai kebaya putih, sedangkan ia sendiri sibuk mencuci, mengepel dan memasak, memperlakukan Agni bak ratu dengan tidak lupa menyalakan lampu, hingga ruangan ini jelas dan hangat, sudut-sudutnya lekukannya.

Berdua mereka berjalan beriringan menyusuri setapak kecil berbatu di taman kota. Tirta membelikan kelapa muda lantas mengumpulkan anak-anak kecil duduk di depan Agni, memintanya mengajari menyanyi. Suara merdunya mengalun, mendamaikan hati, menghangatkan jiwa, perlahan-lahan iapun bergerak, menari, menimanng bayi, Serimpi. Begitu banyak pasang mata terpana, sungguh suara dan geraknya mahadaya, menyulap, orang-orang terhanyut dalam iramanya. Agni balas menatap mata-mata itu bercerita tentang dukanya yang tidak dimengerti.

Namun begitu pulang pintu di tutup, dikunci apat-rapat dan kuncinya disembunyikan entah di mana, Agni diikat dengan tali raffa, sekali lagi Tirta mengamuk.
“Aku ini suamimu, jangan lirik laki-laki lain, ngerti tidak?”
Agni meringis, menangis. Sekali lagi nyalanya yang masih temaram padam. Tiba-tiba saja Tirta melepas ikatan pada tubuh Agni yang menggigil, menciuminya, memohon ampun, menyetubuhinya, seolah kejadian tadi wajar saja.

Pagi ini seperti biasa, Agni duduk di bagian paling tengah dunia kotak di balik pintu. Tirta berbenah lantas mengecup keningnya, membuka pintu, masih sempat ia mencium wangi embun dan rumput juga hangat sang surya, sebelum akhirnya pintu di tutup, dikunci dari luar dan lampu dimatikan dari luar.

Agni meringkuk sendirian, percuma berdiri dan meraba, semua menjadi rata datar tak bertepi, ia sudah berkali-kali mencoba memejam mata, mengangkasakan angan. Bebas di alam liar dengan sebuah pintu yang bisa membuatnya ke mana saja, ke langit, ke hutan hujan tropis, ke pantai bahkan ke tempat anak-anak bermain, ia ingin berlari, merasakan angin menerpa, mengobarkan nyala, kian lama kian besar menghangati orang-orang, menyentuh bebunga membantu fotosintesa. Ia ingin mendengar musik dari dedaunan yuang bertiup angin, deburan ombak yang riuh. Ia menari Serimpi, menggendong bayi, membawa bejana tanah, ia melenggang menggoyangkan badan. Menimbang bayi yang telah lahir darinya, laki-laki begitu tampan dan lucu, dipandangnya mata bayi yang sejuk, dimandikannya di sungai dengan air hangat biasan matahari. Anaknya yang kelaminnya tertutup. Ia mengisi tembikar dengan air sungai. Hujan turun mendadak tanpa pertanda ia bergegas, bayinya didekap, bejana ia pegang di kanan, jalanan licin, Agni tergelincir bayinya jatuh tertimpa bejana, ia menjerit keras.

Ia masih dalam kegelapan, terngah-engah menyisir meraba-raba mencari bayinya. Ia mau menjajaga si jabang bayi yang masih dalam perut yang memberinya nyala dari di hati, sebuah tekat untuk mengeluarkannya dari bali pintu. Ia menggosok-gosokkan tubuhnya ke dinding dengan punggungnya, pantatnya, kepalanya, tangannya, kakinya, bahkan payudaranya, darah dimana-mana namun percik itu ada –api- mula-mula setitik lantas membesar.

Hanya saja kemudian suara langkah kaki terdengar, itu langkah tirta agni harus bergegas, biar nyalanya tak padam kian membesar. Sakitnya menghilang, ia mempercepat gesekannya, api membesar Tirta masuk menghambur menumpahkan air bah ke Agni, hanya darah yang terbasuh api tetap menyala membakar semuanya, dinding beton, kayu atap, perbotan, semuanya tak terkecuali. Cahaya matahari terlihat ia berlari menyongsongnya, dunia di balik pintu itu musnah, pintunya juga beserta isinya, tirtapun menguap.

Agni membuka pintu pagi ini, ia ingin menguapkan embun, menghangati bebunga.ia ngin menari serimpi dengan bayinya di dunia terang benderang, tanpa ujung, tanpa sudut, tanpa lelaki, tak ada lagi ruangan berpintu. Aku menyambutnya kupeluk ia erat, kami melangkahi hamparan savanna wangi ilalang dan rerumputan.

0 komentar: