Ngilu, sakit seluruh syaraf-syaraf tubuh merasakan. Darah mengucur dari mulutnya, gigi geraham atasnya tanggal begitu saja tanpa tanda-tanda, tidak ditarik, dicabut atau ditampar, tapi tanggal dengan rasa sakit yang menggila begitu saja datang tanpa aba-aba.
Keringat mengucur dari tubuhnya, dari ujung kepala hingga ujung kuku kakinya badannya basah kuyup ia melepas kaos mengipas-ngipaskan ke tubuh, lantas bangkit dari tidurnya mengambil minuman di dapur menenangkan jantungnya yang berdegup kencang seolah mau meledak, baru kemudian kembali ke kamar, lekat-lekat dipandangi anak laki-laki dan istrinya yang terlelap tenang dan damai di bawah temaram lampu lima watt. istrinya saat ini sedang hamil hanya tinggal hitungan hari saja ia akan melahirkan bayi laki-laki atau perempuan terserahlah karena baik laki-laki maupun perempuan baginya sama saja, tanggung jawabnya hanya memakani, menyekolahkan dan menghidupi semampunya. Benaknya dipenuhi dengan tanda tanya tentang mimpinya barusan apakah artinya, siapa yang akan segera mati?
Singkong rebus dan kopi pahit sarapannya setiap pagi. ia duduk di lantai mempersiapkan peralatan dan perlengkapan patrinya, plat, solder, dan lain-lainnya. istrinya tengah sibuk mengemas nasi aking dengan lauk iakn asin ke dalam wadah plastik dan air putih ke dalam botol bekas kemasan air mineral buat bekalnya. ya setiap hari setiap jam tujuh ia harus melakukan kegiatan wajibnya semacam rutinitas yang semenjak sepuluh tahun menjadi profesinya yang ia geluti dengan tabah. menjadi tukang patri, dulu ia pernah mencoba cara lain dalam mencari nafkah, jadi kuli bangunan, buruh pabrik, namun mungkin sudah nasibnya ia harus menjadi tukang patri demi keluarga kecilnya.
Anak laki-lakinya yang sudah berumur tujuh tahunpun tidak kalah sibuk, ia sudah mandi pagi-pagi, memakai celana merah dan baju putih. seragam SD bekas pemberian Wa Narto, bekas cucunya dulu. Celananya sudah sobek di selangkangan dan kesempitan, celana itu sudah berkali-kali dijahit namun tetap saja selalu sobek. kemejanya sendiri sudah berangsur-angsur mencoklat, pada bagian kerahnya sudah mulai mengelupas. bajunya dipenuhi dengan bintik-bintik hitam pertanda sering kehujanan. Setelah itu ia memakai sepatu warior hitam bekas yang bagian jempolnya sudah bolong hingga jempol bocah mungil itu kemana-mana. sepatu itu ia temukan di tempat sampah dekat pasar sekitar lima bulan lalu ketika mematri pancinya Mbak Ningrum.
Di sebelah bapaknya, bocah itu juga melakukan ritual rutinnya setiap pagi. mempersiapkan perlengkapannya, sebuah tas hitam yang resletingnya rusak dan gambar Batmannya sudah hampir hilang karena lusuh. tiga buah buku yang isinya sudah hampir habis bersampul koran dan sebuah pensil pendek yang ia temukan di jalan, dimasukkannya ke dalam tas pemberian langganan bapaknya.
Jam Tujuh lebih anak laki-laki itu berdiri di depan pintu, serombongan anak berseragam merah putih lewat, bersendau gurau menggendong tas-tas bagus, memakai baju bagus, topi, sepatu, kaos kaki, ikat pinggang, aneka macam pin dan jam tangan dengan gambar bintang-bintang film kartun yang sedang naik daun. Ia akan berdiri selama sekitar sepuluh menit seperti biasanya hinga tak ada satupun anak berbaju merah putih yang lewat baru kemudain ia kembali dengan buku-bukunya mencorat coret menulis entah apa sesuatu yang tak ia tahu maknanya meniru apa yang sudah tertulis di halaman-halaman buku bekasnya.
Laki-laki itu hanya bisa diam, itulah ritual anaknya setiap hari. ia cukup tahu keinginan anaknya namun ia tidak bisa melakuklan apapun. sekolah hanya untuk yang kaya, apalagi untuk kota besar seperti ini. istrinya datang memberikan sebungkus nasi aking, ikan asin dan sambal, dengan sebotol air minum. ia harus bergegas menjemput rejekinya, untuk makan dan hidup, membayar kontrakan, listrik dan ai,r juga hutang ke warung Yu Juminten, juga untuk persiapan menyambut bayinya. Hatinya gelisah hari ini, inginnya di rumah saja, mimpinya semalam masih saja terbayang hanya saja ia harus kerja. Mencari uang.
Setiap hari melelahkan seminggu tujh hari tanpa hari libur berjalan keluar masuk kampung memukul-mukulkan lempengan besi sebagai tanda ia datang menawarkan jasa patri. Jam enam petang ia pulang langsung mandi dan shalat Maghrib di surau. malam ini ia makan sama dengan yang ia makan tadi, bekalnya. sebab memang cuma itu yang mampu ia beli. Jasa patrinya saat ini sedang sepi pembeli entah karena banyak saingan atau apalah, yang jelas meskipun sudah berkeliling keluar masuk kampung ke mana-mana penghasilannya masih saja kurang. atau mungkin biaya hidup yang tinggi dan harga barang-barang yang mahal yang membuat segalanya menjadi terasa amat berat. Berdua saja ia makan dengan istrinya bocah laki-lakinya entah ada di mana.
Ia bertanya pada istrinya tentang keberadaan anaknya namun si sitri yang tengah hamil tua itu menjawab tidak tahu. sejak pagi ia memang sudah tidak ada. tadinya ia pikir sedang main sama teman-temannya namun si Paino, Kirman, Wahyu dan Alim mengaku tidak bersama bocahnya sejak pagi tadi. Kepanikan melanda berdua mereka mencari ke mana-mana, ke Surau, Masjid, lapangan bola. Bertanya pada siapapun namun hasilnya nihil.
Selepas Isya orang-orang mencari, para wargapun turut serta, ke pasar, ke balai desa bahkan kekuburan sambil membawa kemenyan siapa tahu ia di bawa lampor. Bocah laki-lakinya tidak jua ketemu, semalaman ia tidak bisa tidur mondar-mandir keluar masuk rumah sementara istrinya menangis tak henti-hentinya. Adzan subuh berkumandang dari surau, Wak Haji yang adzan, udara pagi mengiris-ngiris kulit, gema adzan itu mengiris-ngiris hati, memerindingkan, begitu merdunya suara Wak Haji hingga semua orang merindukan Adzannnya. Ia bergeas ke masjid untuk shalat berjamaah. selesai shalat ia termangu di depan surau memandang pohon mangga Wa Narto yang berbuah lebat. Cahaya kemerahan di timur mulai terlihat. ia tertegun menatap lekat-lekat ke salah satu tangkai pohon mangga. Jantungnya serasa berhenti dan tulangnya bertanggalan bukan hanya giginya, mimpinya terjawab, bocah laki-lakinya menjawabnya.
Peristiwa itu sudah lima tahun, dan dalam rentang waktu lima tahun itu hidupnyapun tidak berubah, ia masih saja menjadi tukang patri, dan mereka masih mengontrak di tempat yang sama, rumah dua ruang dengan bahan anyaman bambu dipingggiran kota. Kotak patrinya sudah lapuk dan cat-catnya sudah mengelupas. Ia melakukan ritualnya, memepersiapkan bahan–bahan keperluannya dengan ditemani segelas kopi pahit panas dan singkong rebus. istrinya sedang diluar menjemur pakaian sedangkan anak perempuannya yang lahir tujuh hari setelah anak laki-lakinya mati bunuh diri asyik duduk di sebelahnya memainkan peralatan patri.
Serombongan anak lewat, anak-anak TK berbaju biru, mereka berceloteh, bernyanyi-nyanyi dari Balonku, Pelangi-pelangi, Naik delman hingga TTM, Buaya darat, dan lagu-lagunya Ungu. Anak perempuannya menghambur keluar bergabung dengan anak-anak itu, bercanda bersendau gurau, ngobrol tentang gantengnya Irwansyah dan keinginan menjadi Agnes Monica satu saat nanti, sambil terus berjalan menuju sekolah TK di ujung jalan.
Tapi anak perempuannya tidak bisa masuk ke dalam sekolah, ia dilarang masuk karena ia memang belum terdaftar sebagai murid. Dari balik pagar ia mengamati, ikut bernyanyi, ikut berhitung dan ikut pula baris berbaris.
Istrinya menangis begitu selesai menjemur. “Pokoknya kang saya tidak mau hal itu terjadi lagi, pokoknya ia harus segera disekolahkan”. Tanpa kata ia hanya mengangguk segera berlalu memanggul bebannya mencari uang untuk biaya sekolah.
Malam ini giginya ngilu sekali padahal masih pada kuat menancap di gusi, bukan hanya satu tapi semua tidak ada tanda-tanda akan tanggal namun semuanya sakit, ia sudah berkumur-kumur dengan air garam hangat namun rasa ngilu itu tidak hilang. Giliran rondanya setiap malam Jumat itu berrati malam ini ia harus bergadang, ia pergi ke gardu ronda menggunakan sarung lapuknya. Di gardu kecil pinggiran sekolah TK orang-orang sedang main gaple mengusir kantuk. Ia duduk di sudut sendirian saja merasai sakit seluruh giginya sembari melamun, membayangkan anak laki-lakinya yang telah pergi, gara-gara dia tidak mampu menyekolahkannya dan sekarang keadaan yang sama berulang, tingkah anak perempuannya. dan ia harus menyekolahkannya segera bagaimanapun caranya.
“Tolong pinjami aku uang untuk sekolah anak saya”. Pintanya pada Wak haji.
“ Waduh maaf saya sedang tidak pegang uang.”
Ia pergi, mencari mengiba ke orang-orang, memutari kampung, ke rumah pak Lurah, ke rumah Pak Guru namun tidak seorangpun memberi, sepertinya tidak percaya dengan kemampuannya untuk membayar. Memang pendapatannya hanya cukup untuk makan saja dan bayar kontrakan bahkan kadang tidak makan. Dan sekarang bagaimanapun caranya ia harus mendapatkan uang.
Tengah malam istrinya terjaga, peluh membasahi tubuhnya, ia mencoba mencari suaminya di dalam rumah, namun tidak ada, sepertinya ia belum pulang meronda. Mimpi yang baru dialaminya buruk sekali, seluruh giginya copot mendadak sekali dihantam dengan palu sebesar kepala manusia. Darah di mana-mana membasahi mulutnya, mukanya, bajunya. Siapa yang akan mati? ia mencoba mengingat-ngingat keluarganya yang memiliki kemungkinan akan segera meninggal, tapi seingatnya tidak ada generasi renta yang bau tanah dan yang pesakitan.
Ia pandangi lekat-lekat anak perempuannya yang tertidur lelap, lantas ia cium pipinya ia tidak mau kehilangannya lagi, ia dekap anaknya begitu erat hingga bocah perempuan itu terjaga dan meronta, sikutnya menghantam mulut ibunya. Sakit luar biasa, rasa asin di lidah, giginya copot, benar-benar copot seperti dimimpi, banyak bukan satu.
Hingga menjelang subuh ia terjaga, menangis memandangi lima giginya yang tanggal berlumuran darah, sekarang ia ompong, gigi depannya tiga atas dan dua di bawah. Adzan subuh Wak Haji menentramkan jiwanya, ia bergegas ke dapur menjerang air untuk mandi suaminya dan untuk secangkir kopi. Di depan tungku ia duduk memandangi api yang berkobar. Perasaanya lagi-lagi tidak menentu, ia melamun sambil melawan kantuk yang mulai menyerang. mestinya sekarang anak laki-lakinya sedang bersiap-siap mandi ke kali selepas sholat subuh di surau dengan bapaknya, lalu mempersiapkan semua keperluan sekolahnya, memakai baju baru yang rapi dan bersih, tas, sepatu dan buku-buku yang bagus dan baru. Kelas berapakah ia sekarang?
“Kebakaran !”
Orang-orang berteriak, ia segera berlari menghambur begitu selesai shalat subuh, warna merah di langit sebelah utara. Laki-laki itu berlari ke utara yang merupakan daerah kontrakannya. benar saja rumah kontrakannya terbakar api menyala-nyala, orang-orang berusaha memadamkannya dengan apa saja, air, pasir, dan tanah. Di dalamnya terdengar istrinya berteriak-teriak minta tolong. Api kian membesar kayu gampang terbakar, ia panik berusaha masuk, namun para lelaki menahannya. ia meronta begitu kuat sekuat ketakutannya bahkan ia tak rasakan ketika mulutnya tersikut dan giginya tanggal. sekali sentakan sekuat yang ia mampu, ia terlepas menghambur ke api yang membesar. giginya terjatuh ke tanah, tiga buah. Orang-orang hanya terteguh, menutup mulut dengan tangannya dan sebagian menutup matanya.
Bandung 280806 21:40
0 komentar:
Posting Komentar