Dulu kupikir bahwa aku lahir dari perut sapi, seperti kulihat waktu sapi punya pak Lurah beranak, tapi tak mungkin sapi tidak beranak manusia. Tadinya kupikir aku ada begitu saja, dari tanah ditiupkan roh, tapi tak mungkin aku bukan manusia pertama dan aku bukan nabi. Ibuku entah ada di mana, mungkin dia tak lagi ada, entahlah. Seumur hidupku aku belum pernah melihat perempuan yang melahirkanku, kata bapak aku tak pernah merasai susu ibuku, tak pernah ngenyot puting susunya. Ia tak pernah membiarkanku merasai belai lembutnya, kecupan dan kasihnya juga cerita-ceritanya.
Bapak bilang padaku; “ Ibumu perempuan cantik, ia kembang desa sepertimu, rambutnya panjang diurai. Matanya bulat dan jernih, kulitnya langsat, ia sempurna, perempuan luar biasa yang pernah kutemui. Bapak sangat menciantainya, bahkan tanpa restu orangtua kami menikah. Sayang sekali bapak tidak punya fotonya satupun. Bapak tak pernah punya uang cukup untuk berfoto.”
Ketika kutanyakan kenapa ia pergi, bapak menjawab. “ Entahlah, ketika ibu melahirkanmu terjadi pendarahan hebat, aku tidak mengerti yang jelas ia di bawa ke rumah sakit, aku yang mengantarkannya. Seminggu ia ada di rumah sakit, pada hari ke delapan ia hilang tak berbekas, mungkin di gondol wewe. Ketika aku menjemputnya. Aku sudah mencari kemana-mana, namun ya itu ibumu tak pernah lagi ada.”
Sekali waktu aku bertanya. “ Apakah aku memiliki kakek, nenek, paman atau bibi?” Bapak menjawab. “Mereka tak menginginkan keberadaanmu.” Pernyataannya menegaskan bahwa aku memiliki mereka, tapi bapak menambahi jawabannya. “ Ada tapi mereka lebih baik tidak ada.” Ia membelaiku.
Seumurku bapak hanya hidup berdua denganku, seorang diri ia merawatku di lingkungan yang asing. Katanya. “ dulu kamu selalu bapak bawa kalau kerja di kebun orang, di sana, orang-orang berebut menggendongmu, mengasuhmu, mungkin kasihan sama bapak. Kamu tak pernah kuminumi susu, bapak tak mampu membeli, hanya madu, teh manis dan air putih.”
Lantas kutanya kenapa bapak tak mencari ibu baru buatku, ia menjawab.” Aku mencintai ibumu dengan sangat dan aku menyayangimu bapak tidak mau kamu diasuh ibu tiri yang jahat.” Bapak mengecup keningku.
Bapakku telah memnuhi segala kebutuhanku dari seorang ibu, kasih sayang, pelajaran-pelajaran dan wejangan-wejangan. Ia mengajariku memasak, menjahit, bahkan ia yang menenangkan panikku ketika pertama mens dan mengajari bagaimana menyikapi. Bapakku mengerti aku harus minum jamu apa ketika pertama haid. Tapi bagaimanapun juga, kadang aku ingin bertemu Ibuku.
Sehari-hari bapakku hanya jadi buruh tani, mencangkul, membajak, menanam, memupuk, dan panen. Dari pagi hingga petang tapi tetap saja kehidupan kami tidak berubah bahkan untuk sekolahpun tak bisa. Hanya cukup makan, rumah kami tak pernah di perbaiki, masih berdinding papan dan berlantai tanah, tanpa tivi ataupun radio.
Senja sepulang bapak kerja biasanya telah kusiapkan air panas dan kutimbakan air. Kami makan malam seadanya bersama. Kadang aku memijatnya menjelang tidur, tubuhnya masih kekar meski tidak seperti dulu, kulitnya legam keperakan terpanggang matahari. Dia sudah mulai keriput, rambutnyapun menguban dan botak, mungkin umurnya lima puluhan. Saat ini saja aku sudah dua puluh satu tahun.
Suatu kali bapak ke kamarku, membelai rambutku dan berkata. “ Sebentar lagi kamu akan keluar dari rumah ini, kamu mestinya harus segera kawin, apakah kamu sudah punya pacar?” Aku menggeleng. “ Di kampung ini gadis seusiamu sudah punya anak dua atau tiga. Bapak juga sudah jadi kakek. Kamu cantik seperti ibumu.” Bapak membelaiku.” Kamu cantik, apakah tak seorangpun mau dirimu?” Hanya bapak yang bilang aku cantik, seumur hidupku.
Aku memeluk bapakku erat sangat erat, aku tak ingin meninggalkan ataupun ditinggalkannya, aku tak ingin menikah, aku hanya mau dengan bapak, begitu banyak yang bapak berikan dan korbankan untukku, lantas aku membalasnya dengan meninggalkannya? Aku anak durhaka.
Kalau ibu masih ada, apakah dia ingat tentang aku dan bapak? Entahlah. Mungkin baginya kami tak pernah ada, lihatlah bu, bapak setia padamu, kuyakin bapak kesepian butuh belaian dan kehangatan perempuan di tengah dingin yang menggigilkan.
Kucium pipi bapak, kuelus punggungnya, ku dekap ia makin erat, aku mungkin gila, tapi aku sungguh-sungguh kasihan sama bapak, kubuka bajunya kubuka bajuku biarlah kutebus dosa ibu dan dosaku yang memberati hidupnya. Aku hanya ingin memberinya sedikit kebahagiaan.
Aku sangat mencintainya, hubungan kami makin intim, tapi kami memang mengingini. Bapakkku segalanya, dia bapak dan tuhanku, aku memang gila, tapi perasaanku karena setiap hari seumur hidupku hanya kami berdua yang ada. Aku tak peduli pada apapun, suara-suara, bahkan dunia.
Kami punya dunia sendiri, hanya aku dan bapak, sangat indah tak ada pengganggu. Sampai ada yang datang di antara kami ;,janin, aku hamil sebentar lagi aku menjadi ibu. Oh bahagianya aku akan membahagiakan anakku juga, dia punya ibu dan bapak aku tidak akan meninggalkannya seperti ibu. Tapi waktu kubilang pada bapak, ia terkaget, tertegun lama sekali, wajahnya mendadak galau. “Kamu harus gugurkan bayi itu.” Ketika kutanyakan kenapa ia bilang. “Bayi itu tak semestinya ada, ia haram.” Aku tak terima. Bukankah tidak ada anak haram, semua benar, aku tak mau menggugurkan bayi itu. Bapak marah sangat marah ia memaksaku tapi aku tidak mau. Untuk kali pertama kudapati ia marah. Kutenangkan hatinya dengan tatapan dan tangisan, kupeluk dirinya. “Aku siap menanggungnya.”
Janinku makin besar, perutku juga tambah membuncit, setiap kali keluar rumah seperti ke warung ataupun menyapu halaman, orang-orang memandangiku, mereka bergunjing berbisik satu sama lain, bagaimana mungkin aku hamil tanpa suami, mereka mulai mendakwaku sebagai perempuan nakal. Mereka hanya belum tahu siapa bapak bayiku.
Saat kandunganku memasuki usia tujuh bulan, bukan selamatan yang kudapatkan padahal aku juga ingin seperti orang lain, kenduri, memasak belut dan lainnya. Yang terjadi penduduk kampung menyeratku ke balai desa, aku dimaki dibentak, dijambak ditampar, tanpa memberikan sedikitpun waktu untuk bicara. Mereka bilang aku aib kampung ini, dipaksa mengaku kalau tidak aku akan di usir dari kampung ini. Sungguh manusia-mausia yang katanya tahu moral dan etika itu makin beringas, aku seorang terdakwa yang sendirian duduk di kursi pesakitan. Tapi aku tertawa lepas, mengapa mereka harus berbuat seperti itu, harus ikut campur dengan hidupku. Tiba-tiba bapak menyeruak kerumunan, ia mencoba melerai orang-orang yang menganiayaku, tapi tak seorangpun yang peduli. Mereka mungkin berpikir bapakku tak becus mendidik anak, ia dipukuli dengan sadis. Tubuh rentanya pasti remuk, aku menangis, aku berteriak.
Mereka berhenti, tertegun seperti wajah bapak waktu kubilang aku hamil. Mereka mundur selangkah sebelum akhirnya aku di arak keliling kampung. Aku dipisahkan dengan bapakku, ia di bawa ke kantor polisi. Katanya perbuatan kami melawan hukum. Hukum? Mengapa? Kami saling mencintai, mereka tak pernah tahu perasaan kami , meskipun berkali-kali kubilang kami saling mencintai, tapi yang ada mereka menganggapku gila. Aku mohon dengan sangat agar bapakku dibebaskan dari penjara, sebentar lagi anak kami lahir , aku akan menjadi ibu, ibu anak bapakku yang kucintai.
Senin, 25 Mei 2009
IBU
Diposting oleh supriyanto danurejo di 22.48
Label: Poems and Prose
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar