CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, 25 Mei 2009

IBU




Dulu kupikir bahwa aku lahir dari perut sapi, seperti kulihat waktu sapi punya pak Lurah beranak, tapi tak mungkin sapi tidak beranak manusia. Tadinya kupikir aku ada begitu saja, dari tanah ditiupkan roh, tapi tak mungkin aku bukan manusia pertama dan aku bukan nabi. Ibuku entah ada di mana, mungkin dia tak lagi ada, entahlah. Seumur hidupku aku belum pernah melihat perempuan yang melahirkanku, kata bapak aku tak pernah merasai susu ibuku, tak pernah ngenyot puting susunya. Ia tak pernah membiarkanku merasai belai lembutnya, kecupan dan kasihnya juga cerita-ceritanya.

Bapak bilang padaku; “ Ibumu perempuan cantik, ia kembang desa sepertimu, rambutnya panjang diurai. Matanya bulat dan jernih, kulitnya langsat, ia sempurna, perempuan luar biasa yang pernah kutemui. Bapak sangat menciantainya, bahkan tanpa restu orangtua kami menikah. Sayang sekali bapak tidak punya fotonya satupun. Bapak tak pernah punya uang cukup untuk berfoto.”

Ketika kutanyakan kenapa ia pergi, bapak menjawab. “ Entahlah, ketika ibu melahirkanmu terjadi pendarahan hebat, aku tidak mengerti yang jelas ia di bawa ke rumah sakit, aku yang mengantarkannya. Seminggu ia ada di rumah sakit, pada hari ke delapan ia hilang tak berbekas, mungkin di gondol wewe. Ketika aku menjemputnya. Aku sudah mencari kemana-mana, namun ya itu ibumu tak pernah lagi ada.”

Sekali waktu aku bertanya. “ Apakah aku memiliki kakek, nenek, paman atau bibi?” Bapak menjawab. “Mereka tak menginginkan keberadaanmu.” Pernyataannya menegaskan bahwa aku memiliki mereka, tapi bapak menambahi jawabannya. “ Ada tapi mereka lebih baik tidak ada.” Ia membelaiku.

Seumurku bapak hanya hidup berdua denganku, seorang diri ia merawatku di lingkungan yang asing. Katanya. “ dulu kamu selalu bapak bawa kalau kerja di kebun orang, di sana, orang-orang berebut menggendongmu, mengasuhmu, mungkin kasihan sama bapak. Kamu tak pernah kuminumi susu, bapak tak mampu membeli, hanya madu, teh manis dan air putih.”

Lantas kutanya kenapa bapak tak mencari ibu baru buatku, ia menjawab.” Aku mencintai ibumu dengan sangat dan aku menyayangimu bapak tidak mau kamu diasuh ibu tiri yang jahat.” Bapak mengecup keningku.

Bapakku telah memnuhi segala kebutuhanku dari seorang ibu, kasih sayang, pelajaran-pelajaran dan wejangan-wejangan. Ia mengajariku memasak, menjahit, bahkan ia yang menenangkan panikku ketika pertama mens dan mengajari bagaimana menyikapi. Bapakku mengerti aku harus minum jamu apa ketika pertama haid. Tapi bagaimanapun juga, kadang aku ingin bertemu Ibuku.

Sehari-hari bapakku hanya jadi buruh tani, mencangkul, membajak, menanam, memupuk, dan panen. Dari pagi hingga petang tapi tetap saja kehidupan kami tidak berubah bahkan untuk sekolahpun tak bisa. Hanya cukup makan, rumah kami tak pernah di perbaiki, masih berdinding papan dan berlantai tanah, tanpa tivi ataupun radio.

Senja sepulang bapak kerja biasanya telah kusiapkan air panas dan kutimbakan air. Kami makan malam seadanya bersama. Kadang aku memijatnya menjelang tidur, tubuhnya masih kekar meski tidak seperti dulu, kulitnya legam keperakan terpanggang matahari. Dia sudah mulai keriput, rambutnyapun menguban dan botak, mungkin umurnya lima puluhan. Saat ini saja aku sudah dua puluh satu tahun.

Suatu kali bapak ke kamarku, membelai rambutku dan berkata. “ Sebentar lagi kamu akan keluar dari rumah ini, kamu mestinya harus segera kawin, apakah kamu sudah punya pacar?” Aku menggeleng. “ Di kampung ini gadis seusiamu sudah punya anak dua atau tiga. Bapak juga sudah jadi kakek. Kamu cantik seperti ibumu.” Bapak membelaiku.” Kamu cantik, apakah tak seorangpun mau dirimu?” Hanya bapak yang bilang aku cantik, seumur hidupku.

Aku memeluk bapakku erat sangat erat, aku tak ingin meninggalkan ataupun ditinggalkannya, aku tak ingin menikah, aku hanya mau dengan bapak, begitu banyak yang bapak berikan dan korbankan untukku, lantas aku membalasnya dengan meninggalkannya? Aku anak durhaka.

Kalau ibu masih ada, apakah dia ingat tentang aku dan bapak? Entahlah. Mungkin baginya kami tak pernah ada, lihatlah bu, bapak setia padamu, kuyakin bapak kesepian butuh belaian dan kehangatan perempuan di tengah dingin yang menggigilkan.

Kucium pipi bapak, kuelus punggungnya, ku dekap ia makin erat, aku mungkin gila, tapi aku sungguh-sungguh kasihan sama bapak, kubuka bajunya kubuka bajuku biarlah kutebus dosa ibu dan dosaku yang memberati hidupnya. Aku hanya ingin memberinya sedikit kebahagiaan.

Aku sangat mencintainya, hubungan kami makin intim, tapi kami memang mengingini. Bapakkku segalanya, dia bapak dan tuhanku, aku memang gila, tapi perasaanku karena setiap hari seumur hidupku hanya kami berdua yang ada. Aku tak peduli pada apapun, suara-suara, bahkan dunia.

Kami punya dunia sendiri, hanya aku dan bapak, sangat indah tak ada pengganggu. Sampai ada yang datang di antara kami ;,janin, aku hamil sebentar lagi aku menjadi ibu. Oh bahagianya aku akan membahagiakan anakku juga, dia punya ibu dan bapak aku tidak akan meninggalkannya seperti ibu. Tapi waktu kubilang pada bapak, ia terkaget, tertegun lama sekali, wajahnya mendadak galau. “Kamu harus gugurkan bayi itu.” Ketika kutanyakan kenapa ia bilang. “Bayi itu tak semestinya ada, ia haram.” Aku tak terima. Bukankah tidak ada anak haram, semua benar, aku tak mau menggugurkan bayi itu. Bapak marah sangat marah ia memaksaku tapi aku tidak mau. Untuk kali pertama kudapati ia marah. Kutenangkan hatinya dengan tatapan dan tangisan, kupeluk dirinya. “Aku siap menanggungnya.”

Janinku makin besar, perutku juga tambah membuncit, setiap kali keluar rumah seperti ke warung ataupun menyapu halaman, orang-orang memandangiku, mereka bergunjing berbisik satu sama lain, bagaimana mungkin aku hamil tanpa suami, mereka mulai mendakwaku sebagai perempuan nakal. Mereka hanya belum tahu siapa bapak bayiku.

Saat kandunganku memasuki usia tujuh bulan, bukan selamatan yang kudapatkan padahal aku juga ingin seperti orang lain, kenduri, memasak belut dan lainnya. Yang terjadi penduduk kampung menyeratku ke balai desa, aku dimaki dibentak, dijambak ditampar, tanpa memberikan sedikitpun waktu untuk bicara. Mereka bilang aku aib kampung ini, dipaksa mengaku kalau tidak aku akan di usir dari kampung ini. Sungguh manusia-mausia yang katanya tahu moral dan etika itu makin beringas, aku seorang terdakwa yang sendirian duduk di kursi pesakitan. Tapi aku tertawa lepas, mengapa mereka harus berbuat seperti itu, harus ikut campur dengan hidupku. Tiba-tiba bapak menyeruak kerumunan, ia mencoba melerai orang-orang yang menganiayaku, tapi tak seorangpun yang peduli. Mereka mungkin berpikir bapakku tak becus mendidik anak, ia dipukuli dengan sadis. Tubuh rentanya pasti remuk, aku menangis, aku berteriak.

Mereka berhenti, tertegun seperti wajah bapak waktu kubilang aku hamil. Mereka mundur selangkah sebelum akhirnya aku di arak keliling kampung. Aku dipisahkan dengan bapakku, ia di bawa ke kantor polisi. Katanya perbuatan kami melawan hukum. Hukum? Mengapa? Kami saling mencintai, mereka tak pernah tahu perasaan kami , meskipun berkali-kali kubilang kami saling mencintai, tapi yang ada mereka menganggapku gila. Aku mohon dengan sangat agar bapakku dibebaskan dari penjara, sebentar lagi anak kami lahir , aku akan menjadi ibu, ibu anak bapakku yang kucintai.

FIRASAT


Ngilu, sakit seluruh syaraf-syaraf tubuh merasakan. Darah mengucur dari mulutnya, gigi geraham atasnya tanggal begitu saja tanpa tanda-tanda, tidak ditarik, dicabut atau ditampar, tapi tanggal dengan rasa sakit yang menggila begitu saja datang tanpa aba-aba.


Keringat mengucur dari tubuhnya, dari ujung kepala hingga ujung kuku kakinya badannya basah kuyup ia melepas kaos mengipas-ngipaskan ke tubuh, lantas bangkit dari tidurnya mengambil minuman di dapur menenangkan jantungnya yang berdegup kencang seolah mau meledak, baru kemudian kembali ke kamar, lekat-lekat dipandangi anak laki-laki dan istrinya yang terlelap tenang dan damai di bawah temaram lampu lima watt. istrinya saat ini sedang hamil hanya tinggal hitungan hari saja ia akan melahirkan bayi laki-laki atau perempuan terserahlah karena baik laki-laki maupun perempuan baginya sama saja, tanggung jawabnya hanya memakani, menyekolahkan dan menghidupi semampunya. Benaknya dipenuhi dengan tanda tanya tentang mimpinya barusan apakah artinya, siapa yang akan segera mati?

Singkong rebus dan kopi pahit sarapannya setiap pagi. ia duduk di lantai mempersiapkan peralatan dan perlengkapan patrinya, plat, solder, dan lain-lainnya. istrinya tengah sibuk mengemas nasi aking dengan lauk iakn asin ke dalam wadah plastik dan air putih ke dalam botol bekas kemasan air mineral buat bekalnya. ya setiap hari setiap jam tujuh ia harus melakukan kegiatan wajibnya semacam rutinitas yang semenjak sepuluh tahun menjadi profesinya yang ia geluti dengan tabah. menjadi tukang patri, dulu ia pernah mencoba cara lain dalam mencari nafkah, jadi kuli bangunan, buruh pabrik, namun mungkin sudah nasibnya ia harus menjadi tukang patri demi keluarga kecilnya.

Anak laki-lakinya yang sudah berumur tujuh tahunpun tidak kalah sibuk, ia sudah mandi pagi-pagi, memakai celana merah dan baju putih. seragam SD bekas pemberian Wa Narto, bekas cucunya dulu. Celananya sudah sobek di selangkangan dan kesempitan, celana itu sudah berkali-kali dijahit namun tetap saja selalu sobek. kemejanya sendiri sudah berangsur-angsur mencoklat, pada bagian kerahnya sudah mulai mengelupas. bajunya dipenuhi dengan bintik-bintik hitam pertanda sering kehujanan. Setelah itu ia memakai sepatu warior hitam bekas yang bagian jempolnya sudah bolong hingga jempol bocah mungil itu kemana-mana. sepatu itu ia temukan di tempat sampah dekat pasar sekitar lima bulan lalu ketika mematri pancinya Mbak Ningrum.

Di sebelah bapaknya, bocah itu juga melakukan ritual rutinnya setiap pagi. mempersiapkan perlengkapannya, sebuah tas hitam yang resletingnya rusak dan gambar Batmannya sudah hampir hilang karena lusuh. tiga buah buku yang isinya sudah hampir habis bersampul koran dan sebuah pensil pendek yang ia temukan di jalan, dimasukkannya ke dalam tas pemberian langganan bapaknya.

Jam Tujuh lebih anak laki-laki itu berdiri di depan pintu, serombongan anak berseragam merah putih lewat, bersendau gurau menggendong tas-tas bagus, memakai baju bagus, topi, sepatu, kaos kaki, ikat pinggang, aneka macam pin dan jam tangan dengan gambar bintang-bintang film kartun yang sedang naik daun. Ia akan berdiri selama sekitar sepuluh menit seperti biasanya hinga tak ada satupun anak berbaju merah putih yang lewat baru kemudain ia kembali dengan buku-bukunya mencorat coret menulis entah apa sesuatu yang tak ia tahu maknanya meniru apa yang sudah tertulis di halaman-halaman buku bekasnya.

Laki-laki itu hanya bisa diam, itulah ritual anaknya setiap hari. ia cukup tahu keinginan anaknya namun ia tidak bisa melakuklan apapun. sekolah hanya untuk yang kaya, apalagi untuk kota besar seperti ini. istrinya datang memberikan sebungkus nasi aking, ikan asin dan sambal, dengan sebotol air minum. ia harus bergegas menjemput rejekinya, untuk makan dan hidup, membayar kontrakan, listrik dan ai,r juga hutang ke warung Yu Juminten, juga untuk persiapan menyambut bayinya. Hatinya gelisah hari ini, inginnya di rumah saja, mimpinya semalam masih saja terbayang hanya saja ia harus kerja. Mencari uang.

Setiap hari melelahkan seminggu tujh hari tanpa hari libur berjalan keluar masuk kampung memukul-mukulkan lempengan besi sebagai tanda ia datang menawarkan jasa patri. Jam enam petang ia pulang langsung mandi dan shalat Maghrib di surau. malam ini ia makan sama dengan yang ia makan tadi, bekalnya. sebab memang cuma itu yang mampu ia beli. Jasa patrinya saat ini sedang sepi pembeli entah karena banyak saingan atau apalah, yang jelas meskipun sudah berkeliling keluar masuk kampung ke mana-mana penghasilannya masih saja kurang. atau mungkin biaya hidup yang tinggi dan harga barang-barang yang mahal yang membuat segalanya menjadi terasa amat berat. Berdua saja ia makan dengan istrinya bocah laki-lakinya entah ada di mana.

Ia bertanya pada istrinya tentang keberadaan anaknya namun si sitri yang tengah hamil tua itu menjawab tidak tahu. sejak pagi ia memang sudah tidak ada. tadinya ia pikir sedang main sama teman-temannya namun si Paino, Kirman, Wahyu dan Alim mengaku tidak bersama bocahnya sejak pagi tadi. Kepanikan melanda berdua mereka mencari ke mana-mana, ke Surau, Masjid, lapangan bola. Bertanya pada siapapun namun hasilnya nihil.

Selepas Isya orang-orang mencari, para wargapun turut serta, ke pasar, ke balai desa bahkan kekuburan sambil membawa kemenyan siapa tahu ia di bawa lampor. Bocah laki-lakinya tidak jua ketemu, semalaman ia tidak bisa tidur mondar-mandir keluar masuk rumah sementara istrinya menangis tak henti-hentinya. Adzan subuh berkumandang dari surau, Wak Haji yang adzan, udara pagi mengiris-ngiris kulit, gema adzan itu mengiris-ngiris hati, memerindingkan, begitu merdunya suara Wak Haji hingga semua orang merindukan Adzannnya. Ia bergeas ke masjid untuk shalat berjamaah. selesai shalat ia termangu di depan surau memandang pohon mangga Wa Narto yang berbuah lebat. Cahaya kemerahan di timur mulai terlihat. ia tertegun menatap lekat-lekat ke salah satu tangkai pohon mangga. Jantungnya serasa berhenti dan tulangnya bertanggalan bukan hanya giginya, mimpinya terjawab, bocah laki-lakinya menjawabnya.


Peristiwa itu sudah lima tahun, dan dalam rentang waktu lima tahun itu hidupnyapun tidak berubah, ia masih saja menjadi tukang patri, dan mereka masih mengontrak di tempat yang sama, rumah dua ruang dengan bahan anyaman bambu dipingggiran kota. Kotak patrinya sudah lapuk dan cat-catnya sudah mengelupas. Ia melakukan ritualnya, memepersiapkan bahan–bahan keperluannya dengan ditemani segelas kopi pahit panas dan singkong rebus. istrinya sedang diluar menjemur pakaian sedangkan anak perempuannya yang lahir tujuh hari setelah anak laki-lakinya mati bunuh diri asyik duduk di sebelahnya memainkan peralatan patri.

Serombongan anak lewat, anak-anak TK berbaju biru, mereka berceloteh, bernyanyi-nyanyi dari Balonku, Pelangi-pelangi, Naik delman hingga TTM, Buaya darat, dan lagu-lagunya Ungu. Anak perempuannya menghambur keluar bergabung dengan anak-anak itu, bercanda bersendau gurau, ngobrol tentang gantengnya Irwansyah dan keinginan menjadi Agnes Monica satu saat nanti, sambil terus berjalan menuju sekolah TK di ujung jalan.

Tapi anak perempuannya tidak bisa masuk ke dalam sekolah, ia dilarang masuk karena ia memang belum terdaftar sebagai murid. Dari balik pagar ia mengamati, ikut bernyanyi, ikut berhitung dan ikut pula baris berbaris.

Istrinya menangis begitu selesai menjemur. “Pokoknya kang saya tidak mau hal itu terjadi lagi, pokoknya ia harus segera disekolahkan”. Tanpa kata ia hanya mengangguk segera berlalu memanggul bebannya mencari uang untuk biaya sekolah.

Malam ini giginya ngilu sekali padahal masih pada kuat menancap di gusi, bukan hanya satu tapi semua tidak ada tanda-tanda akan tanggal namun semuanya sakit, ia sudah berkumur-kumur dengan air garam hangat namun rasa ngilu itu tidak hilang. Giliran rondanya setiap malam Jumat itu berrati malam ini ia harus bergadang, ia pergi ke gardu ronda menggunakan sarung lapuknya. Di gardu kecil pinggiran sekolah TK orang-orang sedang main gaple mengusir kantuk. Ia duduk di sudut sendirian saja merasai sakit seluruh giginya sembari melamun, membayangkan anak laki-lakinya yang telah pergi, gara-gara dia tidak mampu menyekolahkannya dan sekarang keadaan yang sama berulang, tingkah anak perempuannya. dan ia harus menyekolahkannya segera bagaimanapun caranya.

“Tolong pinjami aku uang untuk sekolah anak saya”. Pintanya pada Wak haji.

“ Waduh maaf saya sedang tidak pegang uang.”

Ia pergi, mencari mengiba ke orang-orang, memutari kampung, ke rumah pak Lurah, ke rumah Pak Guru namun tidak seorangpun memberi, sepertinya tidak percaya dengan kemampuannya untuk membayar. Memang pendapatannya hanya cukup untuk makan saja dan bayar kontrakan bahkan kadang tidak makan. Dan sekarang bagaimanapun caranya ia harus mendapatkan uang.

Tengah malam istrinya terjaga, peluh membasahi tubuhnya, ia mencoba mencari suaminya di dalam rumah, namun tidak ada, sepertinya ia belum pulang meronda. Mimpi yang baru dialaminya buruk sekali, seluruh giginya copot mendadak sekali dihantam dengan palu sebesar kepala manusia. Darah di mana-mana membasahi mulutnya, mukanya, bajunya. Siapa yang akan mati? ia mencoba mengingat-ngingat keluarganya yang memiliki kemungkinan akan segera meninggal, tapi seingatnya tidak ada generasi renta yang bau tanah dan yang pesakitan.

Ia pandangi lekat-lekat anak perempuannya yang tertidur lelap, lantas ia cium pipinya ia tidak mau kehilangannya lagi, ia dekap anaknya begitu erat hingga bocah perempuan itu terjaga dan meronta, sikutnya menghantam mulut ibunya. Sakit luar biasa, rasa asin di lidah, giginya copot, benar-benar copot seperti dimimpi, banyak bukan satu.

Hingga menjelang subuh ia terjaga, menangis memandangi lima giginya yang tanggal berlumuran darah, sekarang ia ompong, gigi depannya tiga atas dan dua di bawah. Adzan subuh Wak Haji menentramkan jiwanya, ia bergegas ke dapur menjerang air untuk mandi suaminya dan untuk secangkir kopi. Di depan tungku ia duduk memandangi api yang berkobar. Perasaanya lagi-lagi tidak menentu, ia melamun sambil melawan kantuk yang mulai menyerang. mestinya sekarang anak laki-lakinya sedang bersiap-siap mandi ke kali selepas sholat subuh di surau dengan bapaknya, lalu mempersiapkan semua keperluan sekolahnya, memakai baju baru yang rapi dan bersih, tas, sepatu dan buku-buku yang bagus dan baru. Kelas berapakah ia sekarang?

“Kebakaran !”

Orang-orang berteriak, ia segera berlari menghambur begitu selesai shalat subuh, warna merah di langit sebelah utara. Laki-laki itu berlari ke utara yang merupakan daerah kontrakannya. benar saja rumah kontrakannya terbakar api menyala-nyala, orang-orang berusaha memadamkannya dengan apa saja, air, pasir, dan tanah. Di dalamnya terdengar istrinya berteriak-teriak minta tolong. Api kian membesar kayu gampang terbakar, ia panik berusaha masuk, namun para lelaki menahannya. ia meronta begitu kuat sekuat ketakutannya bahkan ia tak rasakan ketika mulutnya tersikut dan giginya tanggal. sekali sentakan sekuat yang ia mampu, ia terlepas menghambur ke api yang membesar. giginya terjatuh ke tanah, tiga buah. Orang-orang hanya terteguh, menutup mulut dengan tangannya dan sebagian menutup matanya.

Bandung 280806 21:40

PISAU


Dia pulang membawa pisau, pisau tajam berbahan baja buatan luar negri, bentuknya seperti pisau daging hanya ukurannya lebih kecil, ujungnya runcing seperti belati. pisau itu sungguh memesona siapa saja yang memandang pasti terpana. Kabarnya pisau itu bisa memotong apapun benda hiduop maupun matu, buah maupun batu bahkan logam.

Jalannya makin dipercepat setapak licin berbatu akibat hujan tadi sore ia lewati dengan perasaan berkobar-kobar ingin mencincang. di kanan kiri kebun salak yang lebat. Matahari sedikit bersinar diantara awan senja. ia menjinjing tas di tangan kanannya, tas besar berwarna coklat tua, dan menggendong sebuah tas ransel mungil berbahan kulit. di kirinya tergenggam pisau, pisau baja yang tajam buatan luar negri. bau wangi kampungnya dan wangi daging yang ingin ia cincang makin menggairahkan. Asap mengepul dari masing-masing rumah pertanda tunggku telah siap tinggal bumbu dan kuali, ah betepa manisnya daging segar. Ia akan mencoba pisaunya untuk yang pertama kali semenjak terbeli.

Dia pergi empat tahun yang lalu ke Malaysia menjadi babu orang sipit di sana yang punya empat anjing dobermen penjaga pintu rumah. selain memandiakannya kerjanya adalah membersihkan rumah sebesar iostana dan memasak daging babi juga mencuci baju sepuluh anggota keluarga, mengasuh dua anak kecil dan melayani nafsu anak majikannya yang baru beranjak remaja. Ia bekerja lebih dari liam belas jam sehari tanpa libur, semua ia lakukan dengan tabah demi pisau itu. Dengan berbagai macam makian, pukulan dan tamparan semua menempanya uantuk menajdi algojo ketika pisau itu sudah digenggamannya.

Selama empat tahun pula ia menahan rindunya pada suaminya yang ia tinggalkan dan juga pada bayi laki-lakinya yang juga ia tinggalkan bersama suaminya. Merekalah yang menguatkan tekadnya untuk memiliki pisau itu bagaimanapun caranya dan seberat apapun. Dulu ia pernah merasakan ngilunya pisau Wati, Tuni, Tarmi juga Pak Lurah, Bu RT dan Wak Guru. Pisau-pisau mereka juga tidak kalah tajam namun sekarang ia telah memiliki ratunya pisau lebih tajam lebih kuat.

Pisau yang dibawanya tajam berkilat-kilat, sesekali memantulkan cahaya matahari, tangannya bergetar hbat dan jantungya berdegup tak menentu.

Sampai juga ia memasuki kampung yang dulu uia tinggalkan, bangunan-bangunan baru yang beraneka bentuk, bangunan yang dulu tidak ada, sekarang ada puluhan rumah megah dengan dinding keramik berwarna warni juga bertingkat seolah kehabisan lahan. Jarang sudah rumah-rumah berdinding kayu, rumahnya mungkin masih sama seperti ketika ia pergi dulu namun sekarang ia telah memiliki pisau yang bisa dipakai untuk apapun bahkan membangun rumah. Dulu rumahnya terbuat dari daun yang amat sangat rapuh. gampang diiris-iris oleh apapun.

Ia berjalan dengan kepala tegak dan dada membusung, pisaunya ia pegang erat sangat erat. di lapangan bola dekat pintu masuk kampung anak-naka kecil yang sedang bermain bola langsung berhenti, mencoba mengamati sosoknya, orang asing begitu aneh, iapun tidak mengenal kerumunan anak-anak itu, waktu empat tahun cukup untuk merubah wajah dan betuk tubuh seseorang apalagi anak-anak. Rindunya kian menggebu pada anaknya mungkin sekarang ia sudah bisa main bola, atau mungkin anaknya ada diantara meraka, namun ia tak mampu mengenalinya.

Anak-naka itu begitu terkesima begitu tahu bahwa perempuan asing itu sesungguhnya tidak asing, orang lama yang terimbas aura ketajaman dan keindahan pisau digenggamannya.

Jalan desa yang beraspal ia lewati, orang-orang keluar begitu mendengar anak-naka dengan gaduhya berteriak-teriak. kalaupun tidak keluar melongok dari jendela. tua muda semuanya, seolah menyambut barisan karnaval megah. mata-mata mereka terbelalak terpesona, bahklan iri memandanya. Ia yang membawa pisau tajam.

Tangan perempaun itu mulai mengibas-ngibas, mulai mengiris-ngiris dan memotong apa saja yang kena, bahkan rambut dan bulu terbelah, nyamuk lalat dan mungkin juga virus meregang nyawa. Angin berhenti bergerak. Pisau itu mulai berfungsi mengandung aroma magis, hingga semua terhipnotis dan hanya mampu menikmati kepedihan itu. Darh bercucuran mengalir seperti sungai ia menebaskan pisaunya membabi buta ada yang kena di mata, tangan, kaki, perut, kepala, bahklan hati. tak ada yang menjerit sebab suara-suara tiba-tiba mengilang. sayatan-sayatan itu tajam dan perih. Ia masih saja acuh berjalan menuju ujung kampung tampat suaminya menunggu melepas birahi dan anaknya tinggal untuk dininabobokkan dan mengenali wajah ibunya.

Tubuhnya kian bersemnagat setiap mencium bau anyir, tak ada keringat semua begitu ringan. Pisaunya yang berkilat-kilat sungguh luar biasa, memberikan kekuatan yang maha dashyat tak ada tandingan bahkan pisau Wati, Tuni, Tarmi juga Pak Lurah, Bu RT dan Wak Guru tak mampu menandingi, peperangan yanga tak seimbang terjadi mereka bersimbah darah. permpuan itu tersenyum puas.

Di ujung jalan rumah mungilnya tampak begitu asri dan meneduhkan. ia setengah tak percaya melihat semuanya, rumah itu, dulu rumah itu bercat hijau eperti maunya, sekarang rumah semi permanen itu bercat biru, halamannya yang cukup luas ditanami bebungan beranke ajenis yang tengah mekar, aster, dahlia, mawar bahkan kenanga, pohon rambutan yang dulu tumbuh disamping rumah sudah tidak ada berganti dengan pohon mangga. Dulu waktu ia pergi dengan memalsukan tanda tangan suaminya dan kabur tanpa pamit, rumahnya tidak seperti itu, tidak ada bebunga tidak ada rumput jepang yang menutup halaman. tidak asri dan teduh. Dulu ia tinggalkan anaknya di kamar depan dekat dengan pohon rambutan seorang diri, sedangkan suaminya sedang merumputkan kambingnya. Senja hari seperti sekarang ia pergi naik ojek dengan sebuah tas coklat belel, semua demi pisau, demia segala yang lebih baik, tidak hanya menggunakan pisau besi yang tumpul dan karatan.

Ia diam saja, air matanya menetes, seorang laki-laki lewat memanggul kayu bakar menurunkannya disamping rumah biru, ia akan masuk sebelum bertemu mata. laki-laki itu, matanya, mulutnya hidungnya, wajahnya, tubuhnya, laki-laki itu suaminya. tangisnya pecah kerinduannya memuncak, laki-laki yang melamarnya dan hanya mampu menafkahinya dengan mengurus sepetak sawah, merumahinya dengan rumah kecil semi permanen, dan memeliharan tiga ekor kambing.

Lantas seorang wanita keluar dari rumah itu, berkerudung dengan perut buncit tanda hamil menuntun seorang bocak lelaki yang lucu, anak itu ah mungkin anaknya. Laki-laki itu menggandeng perempaun buncit dan menggendong bocah laki-lakinya. pisaunya jatuh tanpa sadar menikam tanah. ia tersekat, laki-laki, perempuan berkerudung dan bocah laki-lakinya melangkah masuk. Perempuan itu mengambil pisaunya, ia bergegas berlari sambil menghunus pisau tajamnya menuju laki-laki itu. ia ingin menikamnya. namun laki-laki itu dengan sigapnya menangkis serangan, dengan pisau besi tumpul karatan yang selalu ia bawa, ia balas menikam hatinya. ia terhuyung jatuh dan limbung.

Orang-orang berkerumun, bau anmyir mulai menghilang dan luka-luka mereka sembuh kembali seperti sedia kala. perempuan itu tak mati meski lukanya lebar dan dalam, ia meraung mengibaskan pisaunya tanpa kendali, tapi tidak ada yang terluka, pisau itu menjadi tumpul meskipun berkilat-kilat dan runcing.

Bandung 010806 22:30

Rabu, 20 Mei 2009

LANGKAH BARU


DERAJATKU
Bulan Mei ada selarik duka yang ditinggalkan oleh masa lalu yang juga tak pernah mau beranjak. Mei bukan hanya bulan untuk individu, tapi bulan untuk negara ini Indonesia. Torehan luka teramat dalam meskipun ketika itu aku enggan tahu karena berkutat dengan kekecewaanku akan hidup yang kujalani. Mei tahun 2009 adalah langkah baru bagiku. Keputusan yang kubuat bulan ini adalah awal dari sebuah lompatan untuk tahun-tahun mendatang, langkah itu tak merubah diriku namun juga merubah, satu kalimat yang susah pada dasarnya akan merubahku namun ada bagian yang tak terubah. Menetapkan niat untuk menentukan arah dan lantas membuat keputusan yang sulit. saat harus memangkas ego, meminimalisnya ke ambang bawah, mengabaikan emosi dan belajar mengontrolnya juga meyakinkan bahwa berbagi adalah ibadah yang maha dan juga kewajiban.

RASAKU
Hal paling dasar dari sebuah langkah baruku yang berhubungan dengan jalan menaikkan derajat, adalah bahwa aku telah siap menerima apa yang paling indah dalam hidupku, membiarkan cinta mengapung berubah menjadi energi kasih yang menjadikanku tulus mengamini persahabatan. Ternyata menjalin persahabatan adalah hal terindah dalam hidup, dan bagiku Ia sahabatku yang paling istimewa, bukan karena aku mencintainya tapi karena aku mengasihinya, mengerti dan mencerna bahwa apa yang ia berikan juga merupakan kasih yang lebih agung dari cinta. Rasa tak bisa mati namun bisa berganti karena rasa itu energi dan kekal. Aku mengganti rasaku dari Cinta dan kecewa menjadi kasih dan sayang. Untuknya perempuan paling istimewa di hidupku, mari kita saling mengasihi dan menyayangi.

SAHABATKU
Bulan ini salah satu sahabatku terjatuh ke dalam situasi yang tidak pernah dimaui oleh semua orang, aku tak mampu menabahkannya karena hanya ia yang bisa, aku tak bisa menguatkannya karena ia yang punya daya. tapi aku mendengarnya, aku memeluknya semampu aku, membisikinya bahwa aku peduli dan mengerti dalam pengertianku, mendoakannya saja, karena doa adalah kekuatan yang misterius. Untuk sahabatku yang kuakui sebagai saudara. Bangkitlah sahabatku, mari jalani hidup ini dengan indah, sebab indah hanya tergantung pada cara kita memandang, mengindahkannya, mengibadahinya dan meyakini bahwa yang terjadi adalah yang paling indah dari Tuhan, dan seringnya kita tak tahu bahwa indah-Nya tak seperti mau kita.

Mari menyusun langkah baru mengawali bermil-mil jarak yang akan ditempuh.

Kamis, 14 Mei 2009

D I D E N G A R


Mei, posting pertama, setelah stagnasi otakku perlahan melunak.
Aku mendengar apa yang mampu kudengar, meski kadang hal-hal yang tak mampu kudengar, namun saat mendengarku aku sering mengabaikannya, mencerna apa yang didengar hanya yang ingin kutelaah lebih dalam. lebih bahagia didengar daripada mendengar, karena ternyata didengar itu sebuah kenikmatan saat dianggap ada, dianggap perlu diperhatikan, mendengar adalah memperhatikan orang lain. Ternyata manusia adalah bayi-bayi yang tak lepas dari gaya bayi-bayi untuk selalu didengar, bayi tak ingin mendengar hanya peduli dengan didengar. Dan aku melakukannya, aku hanya mau didengar, apa peduliku dengan keluah kesah yang lainnya, mereka harus mencadi pendengar, aku adalah segala yang lebih segala yang kurang oleh karenanya hanya akulah satu-satunya yang perlu didengar. Apa peduliku dan apa aku harus peduli untuk mendengar? Sebab saat aku minta didengar tak ada yang mau mendengar. Telinga-telinga telah tersumbat oleh earphone, oleh ipod, mp3player, oleh HP. Dunia menyisakan suara tunggal, musik monoton yang berualang, tak beritme. Mata tak pernah mendengar, mata tak cukup untuk mencerna. Aku mendengar aku didengar dengarkan aku, sebab akupun mendengarkanmu.