CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Kamis, 29 Januari 2009

EGO IS? ME? EGOIS?

EGO? Apakah itu?
Aku belum mendapatkan literatur mengenai Ego, padahal dengan mudahnya aka bisa memanfaatkan mesin pencari yang luar biasa, yang bisa begitu cerdas, dan manusia pembuatnya sungguh cerdas, sedangkan pencipta manusia adalah yang mada cerdas. Dengan keterbatasan yang dimiliki otakku, aku ingin mencerna mengenai ego.
Berapa kali aku terjatuh karena keegoisan diriku, lebih sadisnya aku sering membuat orang terjatuh karena keegoisanku. Egoku membuat orang-orang merasai sakit dihatinya dan aku tidak mempedulikannya, bagiku dengan keegoisanku orang lain mampu mengerti aku sepenuhnya tanpa aku harus mengerti orang lain. Akulah yang ter.....
Periode egois itu dimulai dari kecil, dari lingkungan terkecil, keluarga, sekolah dan bahkan , pertanyaannya apakah egois lahir dengan sendirinya atau dibentuk? Menurutku egois itu dibentuk, semua adalah pencetak dan egois adalah tanah liat yang diam untuk dicetak, menjadi indah atau menjadi absurd, kehendak yang membentuk. Apabila aku mendata keegoisan yang telah terjadi, seringnya menjadi merinding sendiri, seperti pembunuhan massal pada mental orang-orang sekitarku.
Percayakah pada karma? Entah inikah namanya sebuah pencerahan, tapi aku mengalami apa yang dinamakan pembalasan. Aku mengalami apa yang dirasai oleh orang-orang yang terkena dampak atas keegoisanku. dan mungkin lebih sakit dari mereka. Impact keegoisan yang kualami itu berganda, dan dengan teregoisi, aku tahu bahwa aku telah begitu egois, sebab saat mengegoisi aku tidak menyadarinya. Setelah pencerahan aku merencanakan perubahan, namun berubah jauh lebih susah, tapi paling tidak punya niatan untuk memulainya.
Maafkan aku untuk siapapun yang mengalami keegoisanku. Are you egois?

Minggu, 25 Januari 2009

BEKERJALAH MAKA HIDUP

Kemarin aku nonton Oprah di Metro TV walau hanya sekilas. Topik yang dibahasa adalah menurut hasil suvey 84% orang Amerika merasa tidak cocok dengan pekerjaannya. Sayangnya aku tidak mengikutinya hingga selesai karena ketiduran. Aku jadi mikir aja bahwa klo mo nyari kerjaan yang cocok sama diri sendiri itu bagaimana ya? Aku sendiri mulai merasakan bahwa pekerjaan yang paling cocok buat diriku adalah artis (penggiat seni)tanpa bermaksud narcis, aku bukan ingin menjadi terkenal ataupun mangkal di TV, i want to be a writer. Susah banget merealisasikan hal itu (sama susahnya dengan merealisasikan rencana untuk kuliahku yang terkatung-katung sekian tahun). Berbagai buku mulai aku baca, tips dan trixnya untuk menjadi writer terbaik terbagus ter..... seperti dewi lestari. Era saat ini adalah era ledakan populasi penulis, tak ada batasan semua ingin menjadi penulis.
Balik lagi pada maksud aku menuliskan hal ini bahwa mestinya bekerja itu dari hati, sehingga totalitas, pengabdian dan dedikasinya lebih maksimal, lantas bagaimana membuatnya menjadi begitu? Bekerja dari dan dengan hati kesannya terlalu idealis dan berlebihan.
Sekarang terus terang aku agak susah merealisasikan bekerja dengan hati (sepenuh hati), aku menjalankan semua rutinitas yang sudah terbentuk dan dibentuk, aku punya guru yang mendikteku menuju ke arah baik, guru-guru yang hebat (berarti bagus dong). Tapi sayangnya aku bukan murid yang terbaik pula.
Walah.... sudah over membingungkan ya...... tapi intinya adalah mari kita bekerja dengan hati, menjadikan bekerja seperti bernafas, bahwa tanpanya kita mati, ya kita bekerja untuk hidup dan dengan bekerja kita merasai hidup, dengan hidup kita bekerja.

Rabu, 21 Januari 2009

MENJADI PENTING ITU PENTING


Tahun lalu saat ada pertemuan di kantorku, bosku berkata "berlombalah menjadi yang penting (orang penting) sebab menjadi penting itu sangat penting". Sudah setahun dan aku baru mencernanya, menjadi penting atau dilahirkan sudah penting? Hanya bermain kata-kata saja. Essensinya apa ya? Penting itu sendiri tidak ada acuannya, apakah arti penting itu mampu melakukan segala atau mampu memaksimalkan satu potensi dalam diri? Kalau dipikir-pikir sebenarnya penting itu dibuat, bukan berarti si subjek ini mampu melakukan segala, ataupun bila dia mampu melakukan segala memang subjek ini bisa tapi situasi dan lingkungan yang mementingankannya, artinya diposisikan.
Lantas bagaimana menjadi orang penting? Karena penting itu diposisikan (harusnya kita tak bisa menganggap diri kita penting) maka kita harus mementingkan kepentingan orang-orang yang memposisikan kita menjadi penting. Harusnya melawan ego sendiri dan kepentingan-kepentingan diri sendiri. Idealisnya kepentingan bersama lebih penting dari kepentingan pribadi. Faktanya banyak orang-orang yang dianggap penting mementingkan kepentingannya sendiri.
Menjadi penting bisa menjadi tidak punya hati, tidak ada rasa saat semua keegoan itu menguasai, maka ia bisa melakukan segala, semua yang memposisikan semestinya tunduk pada kepentingannya, dan dengan lalim ia akan bertahta di singgasana.
Ketika kita tidak diposisikan penting maka siap-siap saja dieliminasi, voting dari lingkungan yang memposisikan kita penting akan mengeliminir kita dari struktur, bahkan dari ekosistem artinya kita menjadi genting.
Pertanyaannya bagaimana menjadi penting atau dipentingkan oleh yang lainnya, and Am I Important person?

Senin, 19 Januari 2009

HEBAT ITU HEBAT


Lewat didepanku satu kavaleri pasukan "hebat" yang berteriak hingga memekakkan telinga, hebat! hebat! hebat! prok prok prok... Lantas ia menyebar mengerubutiku sambil terus berteriak hebat!! aku serasa tenggelam di dalamnya, satu kavaleri itu dengan komando dari komandannya menggerogoti diriku, kehebatan itu termakan semuanya, kavaleri garang dengan segala kegagahannya, keberingasannya, kesombongannya menghapuskan semua warasku, mentranformasikan diriku menjadi anggota kavaleri tersebut, lengkap dengan seluruh atribut dan seragamnya, serta bedil. Otakku telah didoktrin, untuk berkata, berteriak dan berpikir hebat. Dengan kavaleri itu aku berlari, mengitari bumi,mencari sebuah ekosistem untuk mempromosikan "kehebatan" dan menaklukkannya, memberikan influence , berpindah lagi dan lagi, nomaden seperti Jengish Khan. hebat itu merajai, setiap hari setiap saat dimanapun kapanpun semuanya hanya tentang-nya, tidak ada yang lain. Kami menjadi budak-budak yang tunduk pada-nya.
Saat ini tersungkur, badan tak lagi kekar, mata tak lagi tajam dan suara parau, tapi tetap saja hebat itu meraja. Aku belum menyadari bahwa hebat itu menyedot seluruh energiku, mengikis prinsip "down to earth", menyedot lemak tubuhku,menurunkan kemampuan otak dalam mencerna dan mengabsorb sesuatu. Saat hebatku, dalam kekarku kepalaku menengadah, seperti saat Nazi memimpin, akulah yang terbaik dan yang dibaiat terbaik, sehingga wajar mengholocoust yang lain. Tapi hebat bukan energi yang tidak pernah mati, ia tak bisa berubah bentuk, ia tereliminir. Hebat bisa jadi hebat dan menghebat namun kehebatan tanpa hati seperti genoside.
Hebat terlalu absurd dan general, spesifikasi hebat itu tak terdefinisikan, sekarang sudah tergerus telah terjadi abrasi yang hebat sebab dunia ini bukan milik kavaleri hebat, kehidupan bukan hanya di bumi, galaksi bukan cuma bima sakti. Langit juga bertingkat, buku juga bertumpuk, bahkan kulit kita berlapis. Menjadi biasa tanpa label tanpa doktrin itu lebih hebat, hebat itu saat tidak perlu menunjukkan kehebatan, menjadi manusia pada umumnya, tidak muntah oleh sanjung hebat dan serangkai hebat lainnya. Hebat itu hebat.

CERMIN CERMIN DI DINDING


Cermin-cermin yang bergantung di dinding, katakan padaku apa kamu mampu menampilkan isi hatiku, isi kepalaku, isi diriku? Aku mau tahu apa aku cukup mampu bercermin sehingga benar-benar tindakanku adalah segala sesuatu yang didasari cerminan diriku. Aku takut menjadi orang yang tidak bisa bercermin dan mampu melihat cerminannya, paling tidak dalam ke-maya-annya ada sesuatu yang nyata, yang menjadikanku tahu dalam bersikap. Aku takut kearoganan dan kesombongan menanarkanku bahkan lebih parahnya membutakanku. Cermin-cermin di dinding bersuaralah ketika aku melewatimu sehingga aku ingat untuk singgah didepanmu bukan cuma mengabaikanmu. Berdiam sejenak untuk mercerna dengan nalarku apa yang ditampilkan. Cermin-cermin di dinding aku cakep tidak?

Jumat, 16 Januari 2009

BOX, BOXES AND PYRAMID

Kemarin aku menerima nasi dus (box) dari tetangga, isinya nasi yang dibungkus daun (timbel), ayam goreng bagian dada, sambal goreng kentang, tumis buncis, sambal, kerupuk dan sebuah pisang. Hemmmmm uenak, untuk anak kos (meskipun sudah bekerja) aku mengkategorikan sebagai makanan mewah sebab paling tidak nilai gizi ataupun persyaratan sebagai makanan sehat (empat sehat lima sempurna) sudah terpenuhi Lha susunya? cuma itu yang kurang.
Sambil makan aku membayangkan, aku seperti nasi dalam box itu, salah satu penghuninya, harus berbagi tempat dengan yang lain. Aku hanya bebas berselancar dalam box itu tanpa boleh keluar batasnnya di kanan kiri atas bawah ada dinding yang membatasi. Setelah ditutup lantas ditumpuk dengan dus-dus lainnya yang juga isinya sama, terus-terus ke atas, tersusun membentuk piramid. Piramida kehidupan atau lebih tepatnya piramida pe-kelas-an. Bagian paling bawah adalah yang terberat dengan resiko penyok dan hancur paling besar, dan isinya pun bisa terbuang sia-sia.Ataupun probabilitas basi-nya paling tinggi
Rasanya hingga saat ini (jaman modern) kita masih terbagi dalam kelas-kelas dalam kotak-kota (boxes) dan membentuk piramid-penguasa. Bukan secara implisit namun sudah teran-terangan, human right dikesampingkan. Saat ini coba kita bicara diri kita sendiri, bukan bicara dalam skala internasional. Secara tidak langsung kita mengkota-kotakan orang, tidak harus dengan kalimat-kalimat, hardikan ataupun tindakan separatis lainnya. hanya dengan tatapan-pun sudah menggambarkan bahwa kita melakukan peng-kelas-an. Bagaimana caranya? Apakah pernah kita menatap jijik pada orang lain. Pemulung, gelandangan, penemis, orang berpenyakitan ataupun banci? Apakah kita lebih baik dari mereka? Itu adalah klasfikasi. Dalam skala masyarakat, kita telah memisahkan golongan, terpelajar dan tak terpelajar, kaum prasejahtera, ekonomi lemah, menengah,bahkan normal ataupun tidak normal. Percayalah tidak ada yang mau dilahirkan menjadi miskin dan bodoh tanpa akses pendidikan dan fasilitas umum lainnya. Bicara dalam skala negara, peng-kelas-an itu makin nampak, dan rasanya semua menjadi wajar saja dan tidak perlu ada perubahan atau perbaikan. Box-box sudah dibuat dan pyramida sudah terjadi tinggal memelihara saja biar seleksi alam terjadi dengan sendirinya

Kamis, 15 Januari 2009

BICARA CINTA



Dulu aku menganggap bahwa mencintai lawan jenis adalah sesuatu yang tersier- mewah. sekarang merasainya, bukan infatuated love alias cinta pada pandangan pertama (deskripsinya adalah bahwa Ia datang begitu saja disertai dengan bangkitnya psikofisiologis dan tanda fisik, jantung berdetak dan ereksi pada organ genital), terlalu vulgar mungkin, menurut Strenberg cinta adalah emosi manusia yang paling dalam dan paling diharapkan, manusia akan berbuat apapun, tindakan bodoh hingga kriminal bahkan kematian daripada kehilangan cinta. Lihatlah Romeo dan Juliet atau Laila Majnun, Laila yang gila karena cinta, bahkan Cesar dan Cleopatra. Cinta itu sendiri merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi umat manusia sehingga tanpanya pertumbuhan dan perkembangan kemampuan individu terhambat, itu kata Maslow. Khalil Gibran menulis bahwa cinta punya dua sisi, ia mampu memberikan kesenganan dan kedukaan. Sedang Walster bilang bentuk cinta Passionate love membuat orang berfantasi terhadap objeknya. lantas bagaimana denganku? Aku tidak mengalami cinta pada pandangan pertama, aku belum melakukan tindakan yang tidak logis untuknya, dan aku juga masih terkatung antara suka dan duka hanya gundah. mungkin hanya passionate love semacam fantasi, ingin mengalami yang Rumi tulis :

Lewat cintalah semua yang pahit menjadi manis
Lewat cintalah semua yang tembaga menjadi emas,
Lewat cintalah semua yang endapan akan jadi anggur murni
Lewat cintalah semua kesedihan akan jadi obat
Lewat cintalah semua yan mati akan jadi hidup
Lewat cintalah raja akan menjadi budak

saat ini yang manis masih samar, yang emas masih sepuhan, anggurpun belum murni dan sedihku masih jadi luka, yang mati belumlah hidup masih menunggu (di alam barzah) dan aku masih transisi antara raja menjadi budak.

Aku ingin bisa seperti puisi Sapardi Joko Dharmono :

" Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannnya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang manjdikannya tiada "

Tapi aku belum tahu definisi mencintai dengan sederhana. Semua mungkin masih berjalan dengan lambat, otakku masih lambat menghasilkan dopamine dan nenopirine, aku belum tersipu karenanya hanya cemas dan salah tingkah, padahal aku mau secepatnya endoprin tercipta lantas oxytrocin dihasilkan olehnya dan akhirnya Cinta sempurna, consummate love, semua ada pada tempatnya, keintiman, gairah dan komitmen, mencintai dan dicintai.

Pertanyaannya mengapa? Apakah karena takut? Bukankah mencintai bukan suatu kesalahan, hak asasi semua mahkluk hidup, semestinya ketakutan yang essensial adalah saat menghadap tuhan dengan dosa menggunung. Mencintai adalah hidup, tanpa mencintai tidak menjadi hidup, namun bibir masih kelu saat mau bicara, takut bahwa aku tak mampu mencintainya seperti yang ia mau. Bukan perkara gampang bilang "aku cinta kamu", tahukah bebannya? ataukah tidak mau tahu? atau peduli amat dengan "aku cinta kamu" hanya kata-kata tanpa arti.

Katanya cinta layak diperjuangkan, aku setuju, apalah artinya mencintai tanpa memiliki, tapi apa mudah membunuh cinta? Heh mungkin ya ujung dari cinta dengan lawan jenis adalah hubungan badan yang sakral dan utuh (implementasinya) melanjutkan generasi-reproduksi.

Ada baiknya menunggu, biarkan ia lamban bergerak menuju ujung agar pada saatnya ia mekar dengan sempurna hingga ketakutan-ketakutan tak beralasan itu hilang.

Selasa, 13 Januari 2009

JENUH?

Hidup rasanya juga bersiklus, dengan berbagai macam problematikanya, hidup seperti sel, ada membelah diri untuk memastikan eksistensi lantas mati. salah satu part dari hidup itu sendiri adalah jenuh. Ya jenuh dengan pekerjaan, lingkungan, jenuh dengan kemacetan, jenuh dengan segala macam problematika, jenuh dengan banjir. fatalnya lagi jenuh menjalani hidup, kejenuhan itu bisa menggunung lantas tumpah seperti hujan. Saat kejenuhan terjadi itu periode penghancuran diri sendiri, ya aku menyebutnya penghancuran diri sendiri, saat seluruh kreatifitas, kemampuan, dan kecepatan menurun, imbasnya dalam lingkaran dunia kapitalisme, kita tergerus oleh semacam peraturan dalam dunia kerja (versiku), sisi humanism dengan segala kejenuhan dan kegalauannya mestinya tidak terbawa ke tempat kerja. Dalam dunia kerja kita menjadi robot yang tak beremosi tak jenuh datar saja dan mestinya memang begitu dengan kecepatan yang sudah terukur dan stabil dan bahkan cenderung naik tanpa turun sama sekali. Dalam kehidupan berumah tangga ataupun ber-kasih-an, ketika jenuh meraja itu bisa menghancurkannya hancur lebur. Ketika kejenuhan itu terjadi dan kita hanya diam menerima kejenuhan maka bisa saja grafik kita menurun, penilaian bos yang berimbas ke pendapatan juga menurun ya seperti mata rantai. Ekspresi kejenuhan hanya bisa kita luapkan di luar kerja bahkan dirumah pun kita harus menahannya sebab kejenuhan bisa membahayakan kehidupan berkeluarga dan bersosialisai. Jadi kapan kita boleh jenuh dan mengekspresikan kejenuhan? Tidak ada yang pastik kita tidak boleh jenuh. Caranya? Lakukan apapun untuk menghentikan kejenuhan. Anyway apakah ada kejenuhan yang positif? Mungkin saat kita jenuh melakukan dosa, tapi apa ada dosa yang menjenuhkan? Dosa kan seperti candu yang membuat kita ketagihan.
Lantas apa ya hubungan antara jenuh dan malas? Aku ingat satu waktu saat breefing di tempat kerjaku dan aku bertanya tentang jenuh. Bosku hanya menjawab bahwa jenuh adalah sesuatu yang manusiawi, normal dan bahwa aku harus bersyukur karena aku masih manusia yang bisa jenuh, hanya aku harus tahu kapan aku mampu menghentikannya atau aku tahu waktu yang sesuai aku jenuh dan tidak jenuh. So? Apakah ada yang bisa menjadikan jenuh sebagai suatu periode atau siklus?