Dia pulang membawa pisau, pisau tajam berbahan baja buatan luar negri, bentuknya seperti pisau daging hanya ukurannya lebih kecil, ujungnya runcing seperti belati. pisau itu sungguh memesona siapa saja yang memandang pasti terpana. Kabarnya pisau itu bisa memotong apapun benda hiduop maupun matu, buah maupun batu bahkan logam.
Jalannya makin dipercepat setapak licin berbatu akibat hujan tadi sore ia lewati dengan perasaan berkobar-kobar ingin mencincang. di kanan kiri kebun salak yang lebat. Matahari sedikit bersinar diantara awan senja. ia menjinjing tas di tangan kanannya, tas besar berwarna coklat tua, dan menggendong sebuah tas ransel mungil berbahan kulit. di kirinya tergenggam pisau, pisau baja yang tajam buatan luar negri. bau wangi kampungnya dan wangi daging yang ingin ia cincang makin menggairahkan. Asap mengepul dari masing-masing rumah pertanda tunggku telah siap tinggal bumbu dan kuali, ah betepa manisnya daging segar. Ia akan mencoba pisaunya untuk yang pertama kali semenjak terbeli.
Dia pergi empat tahun yang lalu ke Malaysia menjadi babu orang sipit di sana yang punya empat anjing dobermen penjaga pintu rumah. selain memandiakannya kerjanya adalah membersihkan rumah sebesar iostana dan memasak daging babi juga mencuci baju sepuluh anggota keluarga, mengasuh dua anak kecil dan melayani nafsu anak majikannya yang baru beranjak remaja. Ia bekerja lebih dari liam belas jam sehari tanpa libur, semua ia lakukan dengan tabah demi pisau itu. Dengan berbagai macam makian, pukulan dan tamparan semua menempanya uantuk menajdi algojo ketika pisau itu sudah digenggamannya.
Selama empat tahun pula ia menahan rindunya pada suaminya yang ia tinggalkan dan juga pada bayi laki-lakinya yang juga ia tinggalkan bersama suaminya. Merekalah yang menguatkan tekadnya untuk memiliki pisau itu bagaimanapun caranya dan seberat apapun. Dulu ia pernah merasakan ngilunya pisau Wati, Tuni, Tarmi juga Pak Lurah, Bu RT dan Wak Guru. Pisau-pisau mereka juga tidak kalah tajam namun sekarang ia telah memiliki ratunya pisau lebih tajam lebih kuat.
Pisau yang dibawanya tajam berkilat-kilat, sesekali memantulkan cahaya matahari, tangannya bergetar hbat dan jantungya berdegup tak menentu.
Sampai juga ia memasuki kampung yang dulu uia tinggalkan, bangunan-bangunan baru yang beraneka bentuk, bangunan yang dulu tidak ada, sekarang ada puluhan rumah megah dengan dinding keramik berwarna warni juga bertingkat seolah kehabisan lahan. Jarang sudah rumah-rumah berdinding kayu, rumahnya mungkin masih sama seperti ketika ia pergi dulu namun sekarang ia telah memiliki pisau yang bisa dipakai untuk apapun bahkan membangun rumah. Dulu rumahnya terbuat dari daun yang amat sangat rapuh. gampang diiris-iris oleh apapun.
Ia berjalan dengan kepala tegak dan dada membusung, pisaunya ia pegang erat sangat erat. di lapangan bola dekat pintu masuk kampung anak-naka kecil yang sedang bermain bola langsung berhenti, mencoba mengamati sosoknya, orang asing begitu aneh, iapun tidak mengenal kerumunan anak-anak itu, waktu empat tahun cukup untuk merubah wajah dan betuk tubuh seseorang apalagi anak-anak. Rindunya kian menggebu pada anaknya mungkin sekarang ia sudah bisa main bola, atau mungkin anaknya ada diantara meraka, namun ia tak mampu mengenalinya.
Anak-naka itu begitu terkesima begitu tahu bahwa perempuan asing itu sesungguhnya tidak asing, orang lama yang terimbas aura ketajaman dan keindahan pisau digenggamannya.
Jalan desa yang beraspal ia lewati, orang-orang keluar begitu mendengar anak-naka dengan gaduhya berteriak-teriak. kalaupun tidak keluar melongok dari jendela. tua muda semuanya, seolah menyambut barisan karnaval megah. mata-mata mereka terbelalak terpesona, bahklan iri memandanya. Ia yang membawa pisau tajam.
Tangan perempaun itu mulai mengibas-ngibas, mulai mengiris-ngiris dan memotong apa saja yang kena, bahkan rambut dan bulu terbelah, nyamuk lalat dan mungkin juga virus meregang nyawa. Angin berhenti bergerak. Pisau itu mulai berfungsi mengandung aroma magis, hingga semua terhipnotis dan hanya mampu menikmati kepedihan itu. Darh bercucuran mengalir seperti sungai ia menebaskan pisaunya membabi buta ada yang kena di mata, tangan, kaki, perut, kepala, bahklan hati. tak ada yang menjerit sebab suara-suara tiba-tiba mengilang. sayatan-sayatan itu tajam dan perih. Ia masih saja acuh berjalan menuju ujung kampung tampat suaminya menunggu melepas birahi dan anaknya tinggal untuk dininabobokkan dan mengenali wajah ibunya.
Tubuhnya kian bersemnagat setiap mencium bau anyir, tak ada keringat semua begitu ringan. Pisaunya yang berkilat-kilat sungguh luar biasa, memberikan kekuatan yang maha dashyat tak ada tandingan bahkan pisau Wati, Tuni, Tarmi juga Pak Lurah, Bu RT dan Wak Guru tak mampu menandingi, peperangan yanga tak seimbang terjadi mereka bersimbah darah. permpuan itu tersenyum puas.
Di ujung jalan rumah mungilnya tampak begitu asri dan meneduhkan. ia setengah tak percaya melihat semuanya, rumah itu, dulu rumah itu bercat hijau eperti maunya, sekarang rumah semi permanen itu bercat biru, halamannya yang cukup luas ditanami bebungan beranke ajenis yang tengah mekar, aster, dahlia, mawar bahkan kenanga, pohon rambutan yang dulu tumbuh disamping rumah sudah tidak ada berganti dengan pohon mangga. Dulu waktu ia pergi dengan memalsukan tanda tangan suaminya dan kabur tanpa pamit, rumahnya tidak seperti itu, tidak ada bebunga tidak ada rumput jepang yang menutup halaman. tidak asri dan teduh. Dulu ia tinggalkan anaknya di kamar depan dekat dengan pohon rambutan seorang diri, sedangkan suaminya sedang merumputkan kambingnya. Senja hari seperti sekarang ia pergi naik ojek dengan sebuah tas coklat belel, semua demi pisau, demia segala yang lebih baik, tidak hanya menggunakan pisau besi yang tumpul dan karatan.
Ia diam saja, air matanya menetes, seorang laki-laki lewat memanggul kayu bakar menurunkannya disamping rumah biru, ia akan masuk sebelum bertemu mata. laki-laki itu, matanya, mulutnya hidungnya, wajahnya, tubuhnya, laki-laki itu suaminya. tangisnya pecah kerinduannya memuncak, laki-laki yang melamarnya dan hanya mampu menafkahinya dengan mengurus sepetak sawah, merumahinya dengan rumah kecil semi permanen, dan memeliharan tiga ekor kambing.
Lantas seorang wanita keluar dari rumah itu, berkerudung dengan perut buncit tanda hamil menuntun seorang bocak lelaki yang lucu, anak itu ah mungkin anaknya. Laki-laki itu menggandeng perempaun buncit dan menggendong bocah laki-lakinya. pisaunya jatuh tanpa sadar menikam tanah. ia tersekat, laki-laki, perempuan berkerudung dan bocah laki-lakinya melangkah masuk. Perempuan itu mengambil pisaunya, ia bergegas berlari sambil menghunus pisau tajamnya menuju laki-laki itu. ia ingin menikamnya. namun laki-laki itu dengan sigapnya menangkis serangan, dengan pisau besi tumpul karatan yang selalu ia bawa, ia balas menikam hatinya. ia terhuyung jatuh dan limbung.
Orang-orang berkerumun, bau anmyir mulai menghilang dan luka-luka mereka sembuh kembali seperti sedia kala. perempuan itu tak mati meski lukanya lebar dan dalam, ia meraung mengibaskan pisaunya tanpa kendali, tapi tidak ada yang terluka, pisau itu menjadi tumpul meskipun berkilat-kilat dan runcing.
Bandung 010806 22:30
Jalannya makin dipercepat setapak licin berbatu akibat hujan tadi sore ia lewati dengan perasaan berkobar-kobar ingin mencincang. di kanan kiri kebun salak yang lebat. Matahari sedikit bersinar diantara awan senja. ia menjinjing tas di tangan kanannya, tas besar berwarna coklat tua, dan menggendong sebuah tas ransel mungil berbahan kulit. di kirinya tergenggam pisau, pisau baja yang tajam buatan luar negri. bau wangi kampungnya dan wangi daging yang ingin ia cincang makin menggairahkan. Asap mengepul dari masing-masing rumah pertanda tunggku telah siap tinggal bumbu dan kuali, ah betepa manisnya daging segar. Ia akan mencoba pisaunya untuk yang pertama kali semenjak terbeli.
Dia pergi empat tahun yang lalu ke Malaysia menjadi babu orang sipit di sana yang punya empat anjing dobermen penjaga pintu rumah. selain memandiakannya kerjanya adalah membersihkan rumah sebesar iostana dan memasak daging babi juga mencuci baju sepuluh anggota keluarga, mengasuh dua anak kecil dan melayani nafsu anak majikannya yang baru beranjak remaja. Ia bekerja lebih dari liam belas jam sehari tanpa libur, semua ia lakukan dengan tabah demi pisau itu. Dengan berbagai macam makian, pukulan dan tamparan semua menempanya uantuk menajdi algojo ketika pisau itu sudah digenggamannya.
Selama empat tahun pula ia menahan rindunya pada suaminya yang ia tinggalkan dan juga pada bayi laki-lakinya yang juga ia tinggalkan bersama suaminya. Merekalah yang menguatkan tekadnya untuk memiliki pisau itu bagaimanapun caranya dan seberat apapun. Dulu ia pernah merasakan ngilunya pisau Wati, Tuni, Tarmi juga Pak Lurah, Bu RT dan Wak Guru. Pisau-pisau mereka juga tidak kalah tajam namun sekarang ia telah memiliki ratunya pisau lebih tajam lebih kuat.
Pisau yang dibawanya tajam berkilat-kilat, sesekali memantulkan cahaya matahari, tangannya bergetar hbat dan jantungya berdegup tak menentu.
Sampai juga ia memasuki kampung yang dulu uia tinggalkan, bangunan-bangunan baru yang beraneka bentuk, bangunan yang dulu tidak ada, sekarang ada puluhan rumah megah dengan dinding keramik berwarna warni juga bertingkat seolah kehabisan lahan. Jarang sudah rumah-rumah berdinding kayu, rumahnya mungkin masih sama seperti ketika ia pergi dulu namun sekarang ia telah memiliki pisau yang bisa dipakai untuk apapun bahkan membangun rumah. Dulu rumahnya terbuat dari daun yang amat sangat rapuh. gampang diiris-iris oleh apapun.
Ia berjalan dengan kepala tegak dan dada membusung, pisaunya ia pegang erat sangat erat. di lapangan bola dekat pintu masuk kampung anak-naka kecil yang sedang bermain bola langsung berhenti, mencoba mengamati sosoknya, orang asing begitu aneh, iapun tidak mengenal kerumunan anak-anak itu, waktu empat tahun cukup untuk merubah wajah dan betuk tubuh seseorang apalagi anak-anak. Rindunya kian menggebu pada anaknya mungkin sekarang ia sudah bisa main bola, atau mungkin anaknya ada diantara meraka, namun ia tak mampu mengenalinya.
Anak-naka itu begitu terkesima begitu tahu bahwa perempuan asing itu sesungguhnya tidak asing, orang lama yang terimbas aura ketajaman dan keindahan pisau digenggamannya.
Jalan desa yang beraspal ia lewati, orang-orang keluar begitu mendengar anak-naka dengan gaduhya berteriak-teriak. kalaupun tidak keluar melongok dari jendela. tua muda semuanya, seolah menyambut barisan karnaval megah. mata-mata mereka terbelalak terpesona, bahklan iri memandanya. Ia yang membawa pisau tajam.
Tangan perempaun itu mulai mengibas-ngibas, mulai mengiris-ngiris dan memotong apa saja yang kena, bahkan rambut dan bulu terbelah, nyamuk lalat dan mungkin juga virus meregang nyawa. Angin berhenti bergerak. Pisau itu mulai berfungsi mengandung aroma magis, hingga semua terhipnotis dan hanya mampu menikmati kepedihan itu. Darh bercucuran mengalir seperti sungai ia menebaskan pisaunya membabi buta ada yang kena di mata, tangan, kaki, perut, kepala, bahklan hati. tak ada yang menjerit sebab suara-suara tiba-tiba mengilang. sayatan-sayatan itu tajam dan perih. Ia masih saja acuh berjalan menuju ujung kampung tampat suaminya menunggu melepas birahi dan anaknya tinggal untuk dininabobokkan dan mengenali wajah ibunya.
Tubuhnya kian bersemnagat setiap mencium bau anyir, tak ada keringat semua begitu ringan. Pisaunya yang berkilat-kilat sungguh luar biasa, memberikan kekuatan yang maha dashyat tak ada tandingan bahkan pisau Wati, Tuni, Tarmi juga Pak Lurah, Bu RT dan Wak Guru tak mampu menandingi, peperangan yanga tak seimbang terjadi mereka bersimbah darah. permpuan itu tersenyum puas.
Di ujung jalan rumah mungilnya tampak begitu asri dan meneduhkan. ia setengah tak percaya melihat semuanya, rumah itu, dulu rumah itu bercat hijau eperti maunya, sekarang rumah semi permanen itu bercat biru, halamannya yang cukup luas ditanami bebungan beranke ajenis yang tengah mekar, aster, dahlia, mawar bahkan kenanga, pohon rambutan yang dulu tumbuh disamping rumah sudah tidak ada berganti dengan pohon mangga. Dulu waktu ia pergi dengan memalsukan tanda tangan suaminya dan kabur tanpa pamit, rumahnya tidak seperti itu, tidak ada bebunga tidak ada rumput jepang yang menutup halaman. tidak asri dan teduh. Dulu ia tinggalkan anaknya di kamar depan dekat dengan pohon rambutan seorang diri, sedangkan suaminya sedang merumputkan kambingnya. Senja hari seperti sekarang ia pergi naik ojek dengan sebuah tas coklat belel, semua demi pisau, demia segala yang lebih baik, tidak hanya menggunakan pisau besi yang tumpul dan karatan.
Ia diam saja, air matanya menetes, seorang laki-laki lewat memanggul kayu bakar menurunkannya disamping rumah biru, ia akan masuk sebelum bertemu mata. laki-laki itu, matanya, mulutnya hidungnya, wajahnya, tubuhnya, laki-laki itu suaminya. tangisnya pecah kerinduannya memuncak, laki-laki yang melamarnya dan hanya mampu menafkahinya dengan mengurus sepetak sawah, merumahinya dengan rumah kecil semi permanen, dan memeliharan tiga ekor kambing.
Lantas seorang wanita keluar dari rumah itu, berkerudung dengan perut buncit tanda hamil menuntun seorang bocak lelaki yang lucu, anak itu ah mungkin anaknya. Laki-laki itu menggandeng perempaun buncit dan menggendong bocah laki-lakinya. pisaunya jatuh tanpa sadar menikam tanah. ia tersekat, laki-laki, perempuan berkerudung dan bocah laki-lakinya melangkah masuk. Perempuan itu mengambil pisaunya, ia bergegas berlari sambil menghunus pisau tajamnya menuju laki-laki itu. ia ingin menikamnya. namun laki-laki itu dengan sigapnya menangkis serangan, dengan pisau besi tumpul karatan yang selalu ia bawa, ia balas menikam hatinya. ia terhuyung jatuh dan limbung.
Orang-orang berkerumun, bau anmyir mulai menghilang dan luka-luka mereka sembuh kembali seperti sedia kala. perempuan itu tak mati meski lukanya lebar dan dalam, ia meraung mengibaskan pisaunya tanpa kendali, tapi tidak ada yang terluka, pisau itu menjadi tumpul meskipun berkilat-kilat dan runcing.
Bandung 010806 22:30
0 komentar:
Posting Komentar